Akhir pekan, Ocean telah membuat janji dengan seseorang--Kepala Administrasi Kepolisian Pusat Tora--Gerry Grey di Kantor Kepolisian, lebih tepatnya di ruangan pribadinya. Itulah kenapa menjadi alasan kehadiran Ocean ke Kantor Kepolisian di pagi hari dan mungkin membuat beberapa orang terheran. Mengingat, Ocean tidak memiliki masalah apapun--ia bersih dan bahkan terus membanggakan Tora.
Kedua kakinya terus melangkah, menyusuri lorong yang ditunjukkan oleh polisi jaga kepadanya.
“Ini adalah ruangan Tuan Grey,” ucap polisi jaga itu.
Ocean mengangguk. “Terima kasih.” Lalu Ocean mengetuk pintu dan polisi jaga itu masih memerhatikan. Benar-benar sangat berjaga.
Beruntung, ketukan pintu yang ia timbulkan langsung terdengar sahutan yang memerintah untuk masuk, sehingga Ocean meminta izin kepada polisi jaga untuk bergegas masuk.
“Kita akhirnya bertemu, Tuan Livingston,” ucap seorang pria dengan seragam lengkap akan atribut Kepolisian. Sapaan yang menjadi sambutan kala Ocean menutup pintu ruangan.
Ocean tersenyum tipis. Ia mendekat, lalu sedikit menundukkan kepala. “Senang bisa bertemu denganmu, Tuan Grey. Hal yang sangat kunantikan.”
Gerry yang mendengar itu membalas senyuman Ocean dengan hangat. Ia bahkan mengulurkan tangan, menjadikan perkenalan sebagai awal hubungan baik yang mungkin akan terjalin. Ocean tidak berpikir panjang untuk membalas uluran tangan itu.
Dengan ekor mata, Gerry menunjuk kursi yang kosong--tepat di hadapannya. “Duduklah, Tuan Livingston.”
“Panggil saja Ocean, itu lebih baik,” ucap Ocean yang langsung diangguki oleh Gerry.
“Dengan ucapan yang sama kalau begitu. Gerry saja,” balasnya seraya menduduki kursi kebesaran miliknya. Hanya saja, setelah itu, Gerry menyerahkan sebuah map yang berisi beberapa lembaran. Ocean mengambil, lantas lekas membuka.
Hal yang dilakukan oleh Ocean tidak luput dari pantauan Gerry. “Itu adalah berkas pencabutan atas penyelidikan yang ditandatangani oleh Putri Eleanor Marcelar. Secara fakta, Nenekmu sendirilah yang mencabut laporan sehingga pihak Kepolisian yang sewaktu itu, Ketua Divisi Penyelidikan yang tidak lain adalah Ayahku akhirnya berhenti walau tidak menampik Ayahku juga curiga dengan beberapa hal mungkin yang terjadi,” jelas Gerry.
Penjelasan itu, sangat ampuh mengalihkan pandangan Ocean yang menilik surat penting dengan tandatangan dari Neneknya. Sebelah alis tebalnya terangkat. “Ayahmu? Dan memiliki kecurigaan seperti apa yang Ayahmu pikirkan?” tanya Ocean.
Gerry menatap dengan lekat bola mata Ocean. “Adanya manipulasi. Kecelakaan itu bukan murni kecelakaan lalu lintas. Map yang kau pegang hanya formalitas yang bisa dipublikasikan dan diperlihatkan. Akan tetapi, ada map yang disimpan pribadi oleh Ayahku yang berisi beberapa temuan yang membuatnya curiga. Walau sudah bertahun-tahun lamanya, tetap saja kejadian itu tidak bisa dilupakan karena menggemparkan Tora,” jelas Gerry. Pria itu mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Ia menawarkan pada Ocean, tetapi Ocean menolak karena ia bukanlah perokok.
“Kenapa pihak kepolisian begitu mudah untuk mengakhiri penyelidikan jika pada dasarnya memang ada kesalahan dan manipulasi?”
Gerry yang mendengar, mengembuskan asap rokok dengan pelan. “Sederhana, kami juga berdiskusi dengan pihak keluarga. Tidak etis jika kami memaksa jika pihak keluarga ingin mencabut. Mungkin sudah ikhlas atau tidak ingin membuat keributan. Jalan damai, itu bisa saja terjadi,” ucap Gerry yang menatap Ocean begitu lekat.“Soal penyelidikan waktu itu hanya terjadi sehari setelah dimulai. Namun, Ayahku membuat penyelidikan secara diam-diam.”
“Kalau begitu, di mana Ayahmu?”
Gerry belum membalas. Ia terlihat sibuk menghirup tembakau yang dibungkus lalu mengembuskannya, kemudian sedikit tertawa. “Charlie Grey memiliki kasus di Zerka. Sudah berjalan selama dua bulan dan kami belum bertemu atau berbincang lagi karena masalah jaringan. Aku menghubungimu untuk menjelaskan beberapa hal dan selebihnya, akan kuberitahu setelah bisa menghubungi Ayahku. Tentu saja, aku berada di pihakmu, Tuan Livingston,” ucap Gerry dengan bersungguh-sungguh.
Ocean bisa melihatnya. Hatinya sedikit tenang mendengar itu. Namun, merasa heran atas surat yang dipegangnya. Nyatanya, benar atas apa yang ia dengar waktu itu. Neneknya sendiri mencabut laporan yang seharusnya terus bergulir. Akan tetapi, kenapa?
***
Swan mengamati begitu lekat setiap interior yang didesain untuk kediaman Livingston. Begitu indah, mewah dan elegan. Gaya ala eropa dengan sentuhan modern begitu membuat mata tidak ingin mengindahkannya.
“Sangat mewah sekali. Aku tidak bisa membayangkan seberapa kaya keluarga Livingston,” ucap Swan seraya mengamati sekitar.
Ia bahkan tidak menyadari jika di belakangnya terdapat sang Nyonya rumah yang tersenyum lebar akan kehadirannya. Eleanor pun tak berminat untuk memanggil, masih ingin mengamati dalam diam seorang gadis yang cantik yang sangat ia sukai. Walau Ocean menjelaskan jika mereka tidak memiliki hubungan apapun, Eleanor merasa sangat kecewa.
Menurutnya, tidak aneh jika ia mengharapkan sang cucu memiliki hubungan dengan putri dari seorang wanita yang sudah dianggapnya sebagai anak. Dalam hal ini, Eleanor merasa hanya Swan yang pantas dengan cucu semata wayangnya.
Hanya saja, Eleanor tersentak kala Swan menyadari akan kehadirannya. Swan langsung saja menundukkan tubuh--memberikan penghormatan. “Maaf atas kelancangan saya, Nenek Ele karena—“
“Tidak apa-apa, Swan. Jangan meminta maaf dan bagaimana perjalananmu ke sini? Kuharap menyenangkan?” tanya Eleanor.
Swan tersenyum kikuk. Masih tidak enak hati atas ia yang begitu lamat mengamati sekitar. “Sangat menyenangkan. Nenek Ele sangat berbaik hati dengan mengirimkan supir. Padahal, aku bisa naik bis. Aku jelas akan memenuhi janji itu,” ucap Swan lagi.
Sebelumnya, Swan cukup terkejut mendapati sebuah mobil mewah terparkir di depan toko. Alih-alih pembeli, kala Swan hendak pergi semakin jauh dengan berjalan kaki, seorang pria yang mengaku supir pribadi kediaman Livingston datang menjemput.
Serasa tidak bosan untuk tersenyum, Eleanor terus memperlihatkan senyum elegan yang membuat mata tak bosan untuk memandang--termasuk Swan sendiri. “Tidak masalah, Swan. Aku sangat senang melakukannya dan kita mungkin bisa lekas melakukan aktivitas yang hendak kita lakukan lalu bersantai di taman belakang,” ucap Eleanor yang diangguki oleh Swan.
Pada dasarnya, Swan tidak memiliki pilihan lain dan ia ke tempat ini pun untuk mengajari membuat kue ala Swan Bakery.
“Ayo kalau begitu!” Eleanor mengatakannya seraya menggenggam jemari Swan, membuatnya mereka berjalan beriringan.
“Nenek, aku ingin bicara penting!”
Alhasil, Eleanor dan Swan secara spontan menghentikan langkah mereka untuk melayangkan fokus pada seorang pria dengan raut wajah serius dan sedikit ada keterkejutan pada wajah tampan itu. Bukan hanya pria itu, Swan pun juga terkejut dengan mulut melebar.
Tidak disadari, Swan menepuk dahinya dengan pelan. “Kenapa aku bisa lupa dan tidak ingat jika Ocean Livingston itu adalah cucu dari Eleanor Marcelar? Bahkan, nama kediaman ini juga bersumber dari nama belakang Ocean. Astaga! Sial sekali!” Swan menggerutu dalam hati.
Eleanor melihat Ocean dan Swan yang terkejut. Itu pasti jelas terjadi. Namun, ia terlebih dahulu mengabaikannya karena mendengar nada yang keluar terasa mencekam telinga. “Ingin bicara apa?”
Ocean belum menjawab. Kepalanya mendadak pening. Rasa malas mulai menghantui dirinya kala melihat Swan berada di sini. Ia tidak tahu, alasan sang Nenek membawa Swan ke kediaman mereka. Namun, sepertinya ia tidak bisa bertanya pada Neneknya soal ini--mungkin nanti.
“Tidak jadi. Aku permisi dulu.” Hanya itu yang di katakan oleh Ocean sebelum berjalan menaiki tangga--menuju ruangan pribadinya.
Eleanor menggeleng tidak percaya. “Anak itu memang selalu bisa membuatku terkejut saja!” ucap Eleanor seraya memegang dada. Swan mendengar, tetapi fokusnya masih pada Ocean yang sedikit terlihat hingga benar-benar masuk ke dalam sebuah ruangan.
Pandangan Swan pada Ocean bisa dilihat oleh Eleanor. Dengan cepat, Eleanor menyenggol lengan Swan seraya tersenyum. “Swan, Ocean memang seperti itu. Akan tetapi, dia sangat baik dan peduli pada sekitarnya. Jadi, jangan berpikir aneh-aneh ya,” ucap Eleanor seperti meyakinkan suatu hal pada Swan.
Walau terdengar aneh kala Eleanor mengatakan hal itu. Namun, Swan mengangguk setuju. Setelah kejadian waktu ia menendang batu, ia bisa melihat kepedulian dan sisi baik dari seorang Ocean Livingston.
***
Swan begitu tekun mengajari Eleanor, sekelas Putri Kerajaan yang mungkin saja tidak terlalu terbiasa dengan dunia dapur. Mengingat, mereka memiliki begitu banyak pekerja rumah tangga.
Namun, hari ini mereka akan berkutat cukup lama di dalam dapur. Dengan mengenakan celemek untuk membuat pakaian mereka setidaknya tidak terlalu kotor.
Lantas, kue yang mereka tengah buat kali ini adalah kue lamington—kue bolu yang dilapisi cokelat dan taburan kelapa. Namun, diberi isian raspberry untuk cita rasa yang segar. Eleanor disibukkan dengan memanggang kue itu sebelum nantinya diberi isian dan dihias mendamba hati.
Sementara Swan, ia sibuk membuat adonan chiffon cake. Ia mencampur minyak sayur dan putih telur yang cukup banyak dengan memberi sedikit demi sedikit tepung rendah kalori. Kedua kue itu cukup diminati di Swan Bakery. Terlebih ciffon cake yang memiliki tekstur lebih ringan, lembut, dan cenderung kenyal dibanding dengan kue spons pada umumnya.
Mereka berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga tidak dirasa waktu terus berjalan. Kue yang dibuat tangan mereka telah jadi--begitu menakjubkan dan membuat liur meleleh ingin mencicipi.
“Woah, luar biasa sekali,” ucap Eleanor yang kagum dengan mengamati pemandangan di depan mata. Terdapat sekitar delapan ciffon cake dan tiga nampan cukup besar untuk kue lamington.
Bukan Eleanor saja yang kagum, Swan juga kagum. Nyatanya, ia memang memiliki baka terpendam selain balet akibat sering membantu sang ibu tercinta. “Banyak sekali ternyata jadinya,” ucap Swan yang baru menyadari hal itu.
Eleanor mengangguk. “Aku berencana akan membagikan kue ini. Biar pelayan yang menatanya dan alangkah lebih baik kita pergi untuk bersenang-senang.” Eleanor berkata seraya mengambil sedikit tepung. Tidak berpikir panjang langsung meniup ke arah Swan. Seperti memberikan bubuk keajaiban yang membuat Swan terkejut dan sedikit terbatuk.
“Nenek Ele!” ucapnya sedikit kesal. Namun, Eleanor hanya tertawa dan kembali melakukan hal usil di usianya yang tidak muda lagi. Sehingga, mereka menciptakan perang tepung yang membuat dapur di setiap sisi terdapat bubuk putih. Keduanya bahkan kotor akan tepung.
“Tidak kena Swan!” ucap Eleanor. Swan semakin gencar untuk melakukannya. Lagi pula, ini agar ia tidak terlihat begitu menyedihkan karena sangat kotor dibanding Eleanor yang hanya sedikit saja.
Swan kembali mengambil segenggam tepung yang ada di wadah. Ia sedikit menarik langkah dengan fokus pada Eleanor seraya menarik tangan ke belakang lalu menghempaskan ke depan. Eleanor yang tahu taktik itu, memilih menundukkan kepala. Awal yang sebelumnya membuat Swan ingin bersorak bahagia, langsung luntur kala dibalik Eleanor terdapat eksistensi seorang pria yang menatapnya horor. Mengingat, tepung itu tidak bisa ia hindari lagi.
Swan menatap cemas ke arah pria itu. “Astaga, maafkan aku, Tuan Ocean. Aku tidak sengaja,” ucap Swan yang dibuat kebingungan, walau Ocean tampak lucu dengan wajah yang penuh dengan bubuk putih.
Eleanor yang tadinya menunduk, langsung menoleh ke belakang. Hal yang semakin membuat terkejut, Eleanor langsung saja tertawa. “Oh astaga, cucuku begitu lucu sekali.”
Mendengar respon dari sang Nenek, Ocean frustrasi karenanya. Ia melupakan wajah penuh akan bubuk putih dan berkacak pinggang. “Apa yang sebenarnya kalian berdua lakukan di sini? Lihat wajah dan diri kalian! Kotor sekali, tidakkah kalian memikirkan usia?” Ocean berceloteh. Terlihat seperti memarahi anaknya, karena baik Swan dan sang Nenek, kini menundukkan kepala.
Demi apapun, Ocean tidak bisa berkata-kata lagi. Walau ia mengetahui mereka baru saja menyelesaikan aktivitas membuat kue, tetap saja terlihat menyebalkan. “Nenek seharusnya—“
“Kami hanya bersenang-senang, Nak. Jangan mengomel, nanti cepat tua. Mending, kau mencoba kue ini. Kau pasti suka.” Lantas Eleanor langsung saja memberikan potongan kue lamington pada Ocean yang tanpa berpikir dua kali memasukkannya ke dalam mulut Ocean.
Swan memilih mengamati dalam diam wajah Ocean yang kini dipaksa memakan kue itu. Walau sebelumnya tidak ingin, Swan bisa melihat perubahan wajah Ocean yang mulai menikmati kue itu. Tatapannya begitu lekat, mengarah pada sang Nenek dan Swan secara bergantian.
“Bagaimana? Enak bukan?” tanya Eleanor yang mengerti tatapan terkejut dari sang cucu.
Betul saja. Kue itu begitu enak. Sangat pas dilidah Ocean dan serasa masih ingin tetapi gengsi. Bahkan, kala Ocean tidak memahami dirinya kala menghela napas pelan. “Biasa saja, seperti kue pada umumnya dan kumohon, jangan melakukan hal aneh lagi. Termasuk nenek! Ingat umur nenek!” Lalu Ocean meninggalkan mereka berdua yang mengerucutkan bibir dengan lucu setelah diomeli oleh Ocean.
“Memang dia sebenarnya tidak punya hati! Apa susahnya memuji kue yang dibuat Neneknya?” ucap Swan dalam hati dengan tatapan ingin menerkam Ocean. Bahkan, Swan tidak mengalihkan kepala dan terus melakukannya kala mata mereka tiba-tiba saja beradu beberapa saat sebelum Ocean benar-benar meninggalkan mereka.
“Huh, anak itu gengsi sekali bilang enak. Biarkan dan lupakan Ocean dulu. Dia merusak kesenangan kita!”
Mendengar penuturan Eleanor, Swan bisa menyimpulkan jika Putri Eleanor begitu menyenangkan. Selain sebagai Nenek, ia bisa berlakon sebagai teman. Swan merasa kasihan, karena Eleanor pasti membutuhkan banyak tenaga, pikiran dan menguras hati untuk menghadapi manusia sejenis Ocean yang menyebalkan.Halo guys! Aku update lagi😇
Tetap stay ya!
Sampai jumpa di bab selanjutnya😉
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince and The Swan
RomanceTentang Swan--seorang balerina yang bermimpi untuk memiliki tempat pelatihan balerina sendiri. Swan yang tidak percaya akan pria dan ikatan pernikahan atau cinta sekalipun akibat kejadian di masa lalu, nyatanya harus terlibat masalah dengan seorang...