XI : Because of The Identity Card

61 11 1
                                    

Swan hanya bisa menarik napas panjang. Permintaan sang Ibu sebenarnya terasa sedikit mencekik. Hal itu dikarenakan ia yang sedang fokus pada pendirian pelatihan miliknya. Namun, melihat ketulusan dari Nenek Ele, Swan akhirnya menerima permintaan itu. Setiap hari minggu, ia akan berkunjung ke kediaman Livingston untuk memberikan ilmu soal kue dan roti.

Memang terdengar aneh, tetapi itulah kenyataan yang saat ini ia jalani. Ia sebenarnya tidak mengerti maksud dari Nenek Ele, tetapi Swan merasa tidak memerlukan jawaban. Mengingat, ia akan memasuki ranah pribadi seseorang. Sangat tidak hormat jika melakukannya pada sekelas Putri Eleanor Marcelar.

Swan sontak menggelengkan kepala. "Jangan pernah menyinggung itu, Swan. Jika pun memang akan tersinggung, biarkan Nenek Ele yang melakukannya. Cukup kau melakukannya tugasmu," ucap Swan seraya merapikan buku tebal yang berada dalam totebag miliknya. Ia mengeluarkan buku itu, kemudian mengganti dengan buku yang lain. Besok ia memiliki kelas--hanya mengumpulkan tugas. Namun, beberapa buku akan ia kembalikan ke Perpustakaan Pusat yang sempat di pinjamnya.

Setelah menyelesaikan kegiatannya, Swan menduduki kursi yang selalu di dudukinya ketika akan belajar. Dibukanya laptop yang tersedia di depan mata dan berkutat beberapa saat. Swan terlihat amat fokus mengamati sebuah form yang ditulisnya pada brosur dan sewaktu itu sempat ia cetak serta kirim secara online diperkumpulan balet di daerah Tora.

Matanya menyipit. "Lumayan. Ada sekitar delapan orang yang tertarik untuk bergabung. Aku akan memeriksa terlebih dahulu," ucap Swan. Jemarinya begitu gesit mengarahkan mouse untuk meng-klik satu persatu para pelamar yang ingin mencoba peruntungan bersama dengan dirinya.

Dalam hal ini, karena masih terbilang pelatihan kecil, Swan hendak merekrut sekitar empat orang dengan dua kategori--pengajar dan seorang staf yang akan membantu Swan untuk mengatur area pelatihan dengan gaji yang akan dibayar setelah kelas di mulai dan karena masih dalam tahap pendirian, Black Swan Ballet Center belum bisa membayar setara dengan bekerja di pelatihan balet kelas ternama. Swan akan menjelaskan hal itu.

Dari beberapa formulir yang ia lihat, Swan memilih sekitar empat orang yang menurutnya pas. Namun, itu hanya untuk sementara saja. Mengingat, ia belum menutup akses form yang dibuatnya.

Hal yang ia lakukan tak terasa selesai. Swan meregangkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Lalu fokus ke arah sebuah jam dinding berada. "Masih pukul tujuh malam. Dosen kembali hanya mengirimkan tugas dan itu bisa kukerjakan nanti. Aku serasa ingin melakukan hal berat dan ya!" Swan lekas menutup laptop yang menyala, kemudian membuka laci dan menemukan kunci dengan gantungan berkarakter angsa hitam. Sangat tepat dengan tempat pelatihan yang ia kunjungi.

Hanya dengan mengenakan hoodie berwarna hitam yang dipadukan dengan celana kain senada, Swan bergegas meninggalkan kamar dan menuruni anak tangga--baru beberapa langkah ia langsung menghirup aroma begitu memabukkan yang bersumber dari roti dan kue. Mengingat, Swan juga tinggal di toko bersama dengan sang Ibu--mereka ada di lantai dua dan untuk keperluan toko, semua berpusat di lantai satu.

Swan terlebih dahulu ingin ke kasir--sedikit senang mengejek seorang kasir yang di kenal dengan Kak Ying--perempuan yang berumur di atas Swan dan ternyata kini sedang menggoda seorang pria.

"Ayolah, berikan nomor ponselmu, ganteng. Siapa tahu kita cocok, bukan?" Kak Ying berujar sembari bersiap untuk mengetik di ponsel. Pria yang tengah berhadapan dengan Kak Ying terlihat sangat tidak nyaman, berusaha untuk meminta total pesanannya.

"Kumohon, total belanjaannya. Saya bener-bener harus segera kembali," ucap pria itu.

Namun, Kak Ying menggeleng dengan senyum centil. "Berikan nomor ponselmu dulu, ganteng. Setelah itu, aku baru memberinya dan kau bisa kembali," ucap Kak Ying lagi. Pelanggan tersebut sangat frustrasi.

Swan melihat pemandangan itu sontak saja menggelengkan kepala. "Kak Ying, berikan atau Ibu nanti marah. Masih banyak pria lain yang akan mau memberimu nomor ponsel nantinya," sahut Swan yang berhasil mengalihkan keduanya. Kak Ying terlihat mengerucutkan bibir, tetapi beda lagi dengan pria itu. Kedua matanya sedikit membesar, tetapi ia menampilkan ekspresi wajah begitu natural.

Lain halnya dengan Swan, ia begitu terkejut. Bahkan, mengambil langkah mundur. "Kau lagi! Entah kenapa doaku tidak dikabulkan oleh Tuhan!"

Tentu saja, Swan sangat heran dengan alur takdirnya. Bagaimana bisa terus saja bertemu dengan Ocean? Kenapa, Tora sangat sempit sehingga selalu saja mempertemukan dua orang yang tidak ingin bertemu lagi?

Ocean yang melihat Swan, memilih tidak peduli. Kembali pada kasir dan meminta pembayarannya segera diselesaikan. Kak Ying yang keburu dongkol, dengan gesit menyelesaikan sesi pembayaran yang sempat tertunda karena dirinya.

"Terima kasih. Jangan lupa datang kembali," ucap Kak Ying kala Ocean yang langsung mengambil kantong belanjaan. Tanpa melirik ke arah Kak Ying ataupun Swan sama sekali, Ocean lekas meninggalkan area toko.

Pada dasarnya, Ocean sangat berharap tidak pernah kembali ke tempat itu. Hanya saja, Ocean merasa ia pasti akan ke sana. Mengingat, Neneknya tidak ingin membeli kue jika bukan di Swan Bakery dan sangat suka menyuruh dirinya untuk mengambil pesanan di toko itu. Bahkan ketika rumor menyebalkan itu, Nenek serasa makin gencar membuatnya tidak nyaman karena memberikan lampu hijau--padahal tidak ada hubungan lebih di antara mereka.

Swan hanya bisa mendengkus. "Sombong sekali!"

Alhasil, Kak Ying menoleh pada Swan yang menatap pria tampan tadi dengan tatapan sengit, membuatnya sedikit heran. "Swan cantik, kau mengenal pria tampan itu? Kalau kenal, bisakah-"

"Aku tidak mengenalnya!" Lalu Swan berlalu begitu saja, meninggalkan Kak Ying yang semakin dibuat heran.

Kak Ying menggelengkan kepala. "Sangat aneh!" Namun, detik selanjutnya ia menepuk kepala dengan pelan. "Jadi, harus bagaimana biar bisa mengenalnya lebih dekat? Huh, pria tampan ...."

Swan langsung merasakan suasana hati begitu buruk--hanya karena pria bernama Ocean. "Sudahlah, Swan! Lupakan pria itu dan ...." Ucapan Swan terhenti kala tidak sengaja mengamati sebuah gantungan kartu identitas yang berada di atas lantas toko.

Walau dengan suasana hati yang buruk, Swan meraih kartu identitas itu--menilik begitu dalam hingga membuat kedua matanya menyipit. Ia pun tertawa renyah. "Milik pria itu rupanya," ucap Swan yang kembali mengamati kartu itu. Ia bisa meyakini satu hal, Ocean pasti masih berada di sekitar tokonya.

Akan tetapi, terlalu malas untuk memberi. Bukankah lebih baik ia buang saja untuk melampiaskan rasa kesal? Swan sedikit berpikir.

Namun, melihat eksistensi Ocean yang memasuki mobil pribadinya dan hendak melesat, kedua kaki Swan bergegas mengambil langkah untuk berlari seraya kedua bibir yang terbuka untuk berteriak.

"Hei! Kau pria menyebalkan tadi! Ocean! Siapapun itu! Milikmu!" Swan berteriak begitu keras. Ocean bahkan terkejut saat baru saja ingin masuk. Perlahan, ia mengamati begitu lekat ke arah Swan hingga kedua matanya terpusat pada kartu identitas miliknya yang digenggam Swan ke udara.

Benda yang begitu berharga. Ocean merasa dirinya begitu ceroboh. Namun, hal pertama ia lakukan adalah menantikan Swan yang mendekat untuk mengembalikan miliknya. Namun, kejadian naas malah terjadi.

Ocean bisa melihat Swan yang tersandung akan sebuah batu cukup besar yang tidak ia perhatikan. Berhasil membuat Swan oleng dengan mata yang terbuka lebar. Swan merasakan kakinya begitu sakit karena terasa telah menendang batu--bukan sebuah bola. Bahkan, ia merasa akan ambruk di atas tanah dan hal yang menurutnya semakin memalukan, itu terjadi tepat di hadapan Ocean.

"Ya Tuhan ...." Swan pasrah. Ia memejamkan mata. Namun, ia malah tidak merasa kesakitan dan sebuah lengan kekar terasa hangat memegang pinggang miliknya. Swan sontak saja membuka mata, pun langsung dihadapkan dengan kedua mata Ocean yang menatapnya begitu datar.

"Eh, kau?" Swan membeo. Ia sedikit terkejut. Dengan gerakan spontan, melepaskan diri dari jeratan Ocean. Walau sedikit canggung dan sebelah kakinya begitu sakit.

Ocean mendekat, memerhatikan kaki Swan yang mengeluarkan darah. "Kau terluka, kita obati lukamu dulu," ucap Ocean.

Swan ingin menolak. Akan tetapi, Ocean mengambil alih tubuh Swan. Menuntun untuk duduk di kursi bagian depan mobil--setelah Ocean membukanya dan mengambil sebuah kotak putih berisi obat-obatan.

Swan yang pada dasarnya hanya mengenakan sendal rumahan, tentu begitu mudah mendapatkan luka dan begitu leluasa Ocean bisa membersihkan luka itu. Walau sedikit terkejut dengan mulut menganga, Swan melihat Ocean--pria bangsawan yang memiliki gelar pangeran bertekuk lutut di hadapannya dan bahkan mengobati seorang gadis yang secara fakta tidak menyukainya.

"Aku bisa sendiri," ucap Swan yang menarik kaki. Namun, Ocean kembali menarik dan tidak sengaja menggenggamnya. "Sakit, bodoh! Kau ingin membunuhku, ya?"

Namun, Ocean tampak tersenyum kecil, membuat Swan menyipitkan mata. "Sudahlah, diam saja. Sebentar lagi selesai." Ocean berkata dengan terus melakukan kegiatan kecilnya, hingga kaki Swan telah terbungkus oleh kain kasa--darah masih tampak, tetapi setidaknya menghentikan perdarahan yang terjadi.

"Sudah selesai. Kau bisa berjalan?" tanya Ocean.

Swan yang sepenuhnya fokus pada Ocean beberapa waktu yang lalu, tersentak dan mengangguk. Merasa sedikit malu jika Ocean memerhatikan dirinya yang tengah mencuri pandang. "Ak-aku bisa sendiri. Terima kasih," ucapnya.

Kemudian, memberikan Ocean yang menjadi penyebab dirinya terluka. "Kartumu. Tadi terjatuh di depan toko. Lain kali, hati-hati."

Swan menyerahkan kartu identitas tersebut yang diraih oleh Ocean. "Terima kasih, aku tidak bisa membayangkan jika ini hilang," ucap Ocean jujur yang dijawab anggukkan oleh Swan.

"Aku kembali kalau begitu. Terima kasih lagi dan lain kali, hati-hati. Tentu, itu juga berlaku denganku," ucap Swan sedikit menarik senyum. Kemudian, melangkah meninggalkan Ocean begitu saja setelah mengatakannya dengan langkah yang pincang.

Ia tidak peduli, karena Swan merasa tidak aman jika berlama-lama dengan Ocean. Serasa sesuatu akan terjadi. Alangkah lebih baik ia segera ke samping toko Ibu--tempat pelatihan untuk melakukan semedi--lebih tepatnya sedikit berbenah.

Namun, Swan tidak menyadari jika ia menjadi amatan begitu lekat oleh Ocean yang belum meninggalkan area parkir. Ocean masih menatap keberadaan Swan hingga gadis itu menghilang di balik pintu--begitu cepat ia rasa atau mungkin karena ia tidak menyadari.

"Astaga, apa yang aku lakukan?"

"Astaga, apa yang aku lakukan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo, guys! Aku update lagi😇

Tetap stay dengan kisah mereka ya🦋

See you🌊🦢💞

The Prince and The SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang