Swan menarik langkah untuk memasuki area kampus. Siang ini, ia memiliki jadwal perkuliahan--Antropologi Tari. Tidak lama lagi, kelasnya akan di mulai. Ia sedikit terlambat, karena bis yang ditumpanginya mengalami sedikit masalah dengan ban yang bocor.
"Sial sekali. Semoga saja kelas belum mulai. Akan ada presentasi penting dan harus dihadiri karena kelompokku yang akan melakukannya. Lucunya, aku yang membawa bahan presentasi," ucapnya pada diri sendiri.
Swan tidak peduli jika dikatai tidak waras karena berbicara sendiri. Itu hal wajar yang ia lakukan. Respon alami atas kekhawatirannya kali ini. "Tidak akan lama lagi. Kau harus tenang, Swan!"
Hanya saja, Swan kembali mendapatkan cobaan hidup yang tidak berhenti di ban bocor saja. Entah bagaimana, seseorang tiba-tiba saja datang dari arah berlawanan--menabrak Swan yang hampir terjatuh.
"Astaga, untung saja!" Swan berhasil menjaga keseimbangan. Akan tetapi, sang lawan terdengar mengumpat. Swan lantas menoleh, spontan matanya membulat. "Ponselmu-"
"Menyusahkan saja!" Pria tersebut memilih untuk memungut ponselnya. Mengamati apakah ada hal serius yang terjadi. Alhasil, pria yang tengah mengenakan pakaian rapi-kaos putih yang dipadukan dengan jas dan celana kain berwarna biru gelap mengamati Swan dengan dingin. "Apa kau tidak mempergunakan matamu dengan baik?"
Swan tersentak mendengar suara bariton yang membentak. Padahal, sepenuhnya Swan tidak bersalah. Lantas, kenapa dilimpahkan pada dirinya? Hanya kepada matanya saja. Itu tidak adil.
Sontak saja, Swan berkacak pinggang. "Mataku tetap kupergunakan sebagaimana fungsinya yang bersamaan dengan kakiku yang menginjak lantai berbatuan ini sangat baik. Harusnya kau juga sadar diri. Entah kenapa pria sangat menyebalkan sekali," ucap Swan kesal. Ia tidak bisa menahannya. Belum lagi, ia akan menghadapi presentasi.
Ampuh membuat Swan menepuk dahi dengan pelan. "Astaga, presentasiku. Semua ini gara-gara kau, ya! Sangat menjengkelkan," ucap Swan lagi. Tanpa permohonan maaf atau basa-basi lain ketimbang mengomel meninggalkan area tersebut.
"Apakah semua gadis menyebalkan seperti itu? Benar-benar tidak mau mengaku salah padahal memang salah." Seraya pria itu menggelengkan kepala heran, masih ditempat sebelumnya. Sekalipun mencoba untuk melupakan gadis yang tidak diketahui namanya itu, tetapi ia tidak bisa. Seakan ada hal yang ia lupakan.
Kedua kakinya yang hendak melangkah menuju Gedung Rektorat untuk mengurus keperluan wisuda nanti seketika terhenti. Putaran kejadian langsung mengingatkan Ocean akan suatu hal yang menjanggal dalam dirinya. Di toko roti itu. Ocean memejamkan mata frustrasi.
"Pantas saja seperti tidak asing. Dia gadis yang mengataiku berpenyakitan hanya karena penampilanku." Ocean berujar sembari menghembuskan napas pelan. "Sudah, ini akan menjadi pertemuan terakhir dengan gadis gila itu."
***
Swan dan Qia membereskan barang-barang mereka setelah kelas dinyatakan selesai, beberapa menit yang lalu. Swan bersyukur presentasi tadi berjalan lancar--tanpa hambatan apapun dan mendapatkan respon baik dari dosen. Setidaknya, Swan tidak mendapatkan begitu banyak pertanyaan yang membuat otaknya kelimpungan. Dalam hal ini, Swan tidak satu kelompok dengan Qia.
Mungkin beberapa orang akan merasa iri dengan Swan. Bisa berteman dengan salah satu keluarga kerajaan dan Swan mengakuinya. Walau terkadang ia ingin menarik kata-katanya karena Qia yang suka sekali berceloteh pada dirinya.
"Swan, tahu tidak!" Sang empu hanya bisa tersenyum tipis, padahal ia baru saja membicarakan dalam hati. Sebagai jawaban, Swan hanya berdeham.
"Aku sudah membeli gaun untuk ke pesta. Tidak ada dresscode, itu bagus. Aku memutuskan mengenakan warna biru langit, sangat soft. Bagaimana dengan dirimu?" tanya Qia sembari mengikuti langkah kaki Swan yang perlahan meninggikan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince and The Swan
RomanceTentang Swan--seorang balerina yang bermimpi untuk memiliki tempat pelatihan balerina sendiri. Swan yang tidak percaya akan pria dan ikatan pernikahan atau cinta sekalipun akibat kejadian di masa lalu, nyatanya harus terlibat masalah dengan seorang...