Swan mengaduk-aduk minuman yang telah ia pesan beberapa saat yang lalu dengan rasa kesal yang terus berkecamuk di kepalanya. “Astaga, di mana Qia? Aku bahkan sudah menanti sejam lamanya!” ucapnya. Ia yang sudah kesal bukan main. Alhasil, memilih menyalakan ponsel. Akan tetapi, harus tertahan karena sebuah suara memanggilnya dengan napas terengah.
“Swan! Maaf membuatmu menunggu begitu lama,” ucap Qia--sosok yang menjadi suasana hati Swan berubah drastis.
Swan ingin marah, tetapi yang ia lakukan hanya menghela napas kasar. Terlebih kala Qia langsung meneguk habis minumannya. Swan dibuat tercengang. “Kau rakus sekali! Tidak ada etika!”
Sontak saja, membuat Qia terkekeh. “Lagi pula tidak ada Ayah dan Ibuku. Aku tidak peduli. Aku minta maaf, terlebih soal keterlambatanku karena aku harus menunggu Gerry untuk menjemputku. Kami baru saja memesan setelan pakaian untuk acara pernikahan Putra Mahkota dan Putri Mia nanti,” ucapnya yang langsung tersenyum lebar.
Swan serasa bingung untuk berekspresi. Ia sebenarnya sampai sekarang masih bingung bagaimana bisa Qia dan Gerry menjalin asrama. Kata Qia, rasa itu muncul ketika mengalami tabrakan kecil setelah pemakaman Ibu Ocean. Lalu, Gerry tiba-tiba datang membantu hingga berlanjut sampai sekarang. Lucunya, mereka menjadi sepasang kekasih.
Qia melangkah begitu cepat. Swan bahkan dibuat menggelengkan kepala. “Baiklah, lupakan saja! Jika kau meminta maaf lagi, suasana hatiku malah akan semakin buruk. Kau harus tahu itu.”
Lekas, Qia memberikan hormat. “Oke, Nyonya Livingston. Terus, mana bahan-bahan untuk keperluan jurnal nanti?" tanya Qia.
Namun, Swan memilih diam beberapa saat. “Ada apa dengan panggilan itu?”
“Nyonya Livingston?” Sambil ia menggaruk kepalanya. “Itu bagus. Mendoakan hubungan kalian, walau sepertinya akan masih lama. Kau yang sibuk dengan duniamu dan begitu pun dengan Ocean. Terlebih yang kudengar, dia digaet oleh Partai Yashi. Jelas mereka tidak ingin melepaskan pemuda bertalenta seperti Ocean Livingston.”
Tentu saja, perkataan Qia berhasil menghentikan kegiatan Swan yang membuka sebuah catatan berupa bahan-bahan yang di maksud. Swan tidak bisa membantah. Lagi pula, hubungan mereka juga masih awal. Buru-buru melangkah juga tidak baik dan menurut Swan, mereka masih harus mencapai semua impian mereka masing-masing seraya mengenal satu sama lain.
Hubungan ini pun masih begitu asing untuk Swan sendiri. Walau Ocean begitu baik, terkadang ia masih sedikit takut dan sering menghubungkannya dengan masa lalu
Qia yang melihat Swan bergeming, langsung mengusap punggung tangan Swan dengan lembut. Ia tersenyum lebar. “Aku paham yang kau pikirkan. Akan tetapi, aku begitu kagum denganmu, Swan. Kau ingin mencoba membuka lembaran baru untuk masa depanmu. Ya, walau kau termakan dengan omonganmu sendiri. Tidak masalah, aku malah bersyukur,” kata Qia yang sukses membuat Swan bersemu merah.
“Sudah! Mari kita fokus! Kita harus menyelesaikan ini--"
“Eits, kita belum selesai dan bahkan, kau juga harus bersiap untuk pesta pernikahan Putra Mahkota. Jelas Ocean akan diundang dan kau pasti akan menemani Ocean,” kata Qia tetapi Swan menggelengkan kepala.
“Ocean tidak bilang soal itu. Entahlah, aku juga tidak mengambil pusing,” balas Swan. Qia ingin membalas, tetapi harus tertahan kala ponselnya berdering dan itu karena sang Ibu yang meneleponnya.
Lekas Swan menjawab panggilan itu. Namun, tidak berlangsung lama, Qia melihat Swan yang kini berubah ekspresi menjadi dingin. Ia penasaran, ada apa dengan Swan?
***
Swan ingin meninggalkan tempat yang saat ini ia pijaki. Sebenarnya, ia sangat menyesal berada di ruangan serba putih walau Ibunya sudah memberikan penjelasan sejak tadi. Akan tetapi, Swan serasa lebih baik keluar saja. Oleh karenanya, ia memilih untuk membalikkan badan setibanya beberapa menit, lalu menarik langkah untuk menuju pintu.
“Aku minta maaf.” Jemari Swan yang sudah memegang knop pintu langsung berhenti memutarnya ketika suara bariton itu terdengar.
“Aku tahu, sulit bagi kalian untuk memaafkanku. Namun, aku ingin mengutarakannya sebelum aku bisa pergi dengan tenang.” Suara itu lagi. Swan memejamkan mata, tidak kerasa air bening lolos begitu saja membasahi pipi.
“Swan, Putriku ....”
Swan lantas menggelengkan kepala seraya berbalik. “Aku bukan Putrimu! Aku bahkan malu mengakui kau sebagai Ayahku! Kau ... kau pria hina dan bajingan! Kau membuat hidup kami hancur! Kau jahat sekali,” ucap Swan yang langsung luruh. Ia terisak begitu dalam. Tidak bisa menahan diri walau ia telah sekuat tenaga melakukannya.
Anyelir yang ada di sana tidak mendekat, ia juga terisak di samping sosok pria yang terbangun begitu lemah dan kurus--tidak lupa begitu banyak lebam yang ada disekujur tubuhnya. Baron tersenyum lirih. Sudah mengerti hal ini akan terjadi, tetapi kukuh meminta bantuan pada pihak Kepolisian agar dirinya bisa menemui keluarganya sebelum bisa tenang ketika Tuhan mengambilnya sebagai penebusan dosa walau hukuman itu tidaklah cukup.
“Ayah tahu, bahkan aneh jika aku menganggap diriku sebagai Ayahmu. Akan tetapi, aku tulus meminta maaf atas apa yang kulakukan yang membuat kalian sengsara selama ini dan menghancurkan kalian begitu dalam. Ayah menyesal.” Namun, Swan maupun Anyelir tidak memberikan balasannya selain menangis karena terluka.
Baron masih mengamati dengan lekat ke arah Swan. “Kalian berhak bahagia. Terutama dirimu, Swan. Pemuda itu, dia adalah sosok pemuda yang begitu baik untuk dirimu. Aku berharap bahagia untuk kalian setelah tahu kalian menjalin asmara,” ucapnya lagi.
Baron terbatuk begitu keras dan spontan melihat darah keluar dari mulutnya. Ia tersenyum miris, lalu mengamati plafon Rumah Sakit yang berada di atasnya. “Aku berharap kebahagian untuk kalian berdua. Walau kalian sulit untuk memberi maaf, aku akan tetap melakukannya hingga ajal menjemputku.”
Sekali lagi, Swan yang melihat itu masih memilih untuk menangis. Dirinya sulit untuk menerima keadaan. Ia begitu sulit untuk memaafkan setiap perlakuan pria itu kepada dirinya dan sang Ibu.Swan masih diam di tempat, bahkan kala Swan melihat sosok itu kini semakin memburuk--dokter dan tenaga medis lainnya bahkan dibuat semakin sibuk. Akan tetapi, Swan tidak tahu apa yang terjadi, karena ia dan Ibu harus keluar dari ruang inap itu.
***
Swan mengamati tanpa ekspresi papan nisan itu. “Ternyata, kau secepat itu meninggalkan dunia padahal kau belum melakukan apapun untuk memperbaiki kesalahan yang bahkan sulit untuk diperbaiki,” ucap Swan dengan dingin.
Pemakaman pun sudah sepi. Kini, hanya menyisakan ia dan Ocean. Ibunya sendiri telah pergi beberapa saat lalu dan nyatanya memilih berdamai dengan takdir dengan memberi maaf. Bahkan, memberitahu Swan untuk melakukan hal demikian juga. Akan tetapi, sulit untuk Swan lakukan.
“Aku malah membencimu.“ Swan berujar.
Ocean yang ada di sana masih diam akan pemikiran yang berkecamuk. Bohong jika ia sudah menerima keadaan kala Baron begitu cepat pergi dan belum sempat kembali merasakan penderitaan yang ia lalui karena kerakusan pria itu. Hanya saja, titik naluri Ocean kini menguasai diri dan itu menyiksanya. Ia berperang akan pemikirannya sendiri.
Hanya saja, jika terus larut dalam masa lalu, Ocean akan terus tersiksa, patah hati dan merasa tidak puas. Dengan spontan, hembusan napas langsung keluar seraya ia mengusap rambut lebatnya, lalu memilih semakin dekat dengan Swan. Ia memegang pundak Swan, membuat sang empu lantas menoleh.“Swan, ayo berdamai dan memaafkannya. Kau jelas tidak peduli dengan ketenangan jiwa Ayahmu yang menoreh luka sangat dalam, tetapi pikirkan dirimu dulu. Akan semakin menyiksa diri jika terus membenci dan menghindar. Ayo bangkit dari masa kelam itu,” ucap Ocean. Ia ternyata mengikuti kata hatinya, walau dirinya terasa terombang-ambing.
“Ocean ....” Swan tidak bisa mengutarakan isi hatinya, karena detik selanjutnya, ia menabrakkan tubuhnya pada Ocean dan mencari letak kenyamanan--sebuah pelukan yang ia peroleh dari Ocean.
Ocean tentu dengan suka rela membalas pelukan yang terasa begitu hangat. Seraya ia mengusap dan mencium puncak rambut Swan. “Semuanya akan baik-baik saja. Aku ada di sini. Kau tidak sendiriku, Sayang. Jangan takut, tidak ada yang akan melukaimu lagi.”Nyatanya, Swan tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Terlepas dari kebenciannya kepada sang Ayah, Ocean terus memberikan kenyamanan dan membuatnya selama ini tidak berjalan seorang diri. Bahkan, Ocean selalu menariknya ketika sedang tersesat dan berusaha membantunya menyembuhkan luka yang selama ini Swan tutup begitu rapat.
Hola! Bersiap yukk untuk ending!
See you guys!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince and The Swan
RomanceTentang Swan--seorang balerina yang bermimpi untuk memiliki tempat pelatihan balerina sendiri. Swan yang tidak percaya akan pria dan ikatan pernikahan atau cinta sekalipun akibat kejadian di masa lalu, nyatanya harus terlibat masalah dengan seorang...