Barcelona, Spanyol.
Ini hari yang tidak Amari sukai sebab ia sudah pulang ke tanah kelahirannya, Amari harus meninggalkan Meksiko dengan kenangan indahnya tanpa bisa bertemu Martin kembali. Sial seharusnya Amari mencuri nomor ponsel pria itu atau mencuri parfumnya yang memabukkan.
Sial, sial, sial, sial.
Asyik berenang dalam pikirannya Amari tiba-tiba saja tersentak ke depan karena mobil mengerem mendadak. Mobil Van yang dikendarai Edwin nyaris menabrak anak anjing yang melintas.
"Sialan! Bawa mobil yang benar Ed." Kesal Maggie.
Amari tidak mengumpat ia hanya mengelus dada dan kembali diam menunggu mobil melaju menuju kediamannya. Di kursi depan setelah Maggie mengumpat kasar wanita itu mulai tak henti menceritakan pengalamannya berpesta di Meksiko, betapa ramainya suasana pesta yang dipenuhi orang-orang kaya membuat Maggie merasa bangga bisa diundang ke pesta tersebut. Sedangkan di kursi belakang Amari duduk sendiri sambil menikmati indahnya perjalanan pulang. Berbanding dengan Maggie yang sulit melupakan riuhnya pesta Amari justru sulit melupakan panasnya percintaannya bersama Martin.
Kekarnya tubuh Martin tercetak jelas di kepala Amari, suaranya, apa lagi aksennya saat berbicara bahasa Spanyol. Bahkan setiap tato di tubuh pria itu Amari ingat.
"Amari, jika kau masih tersenyum gila seperti itu sampai pulang. Ibumu akan melakukan pengusiran setan di tubuhmu." Kesal Maggie. Dari saat di Meksiko, saat Amari pulang ke hotel sore hari setelah hujan, sahabatnya ini tidak henti tersenyum sendiri.
Pasti ada sesuatu yang di tutupi.
"Amari! Aku sungguh penasaran ada apa?" Ucap Maggie kembali.
Amari terkekeh pelan. "Kau tak akan percaya dengan apa yang aku lakukan"
"Katakan!" Maggie berucap nyaris bersamaan dengan Edwin.
"Aku bercinta dengan seseorang. Jika aku mengingatnya tubuhku rasanya masih bergetar." Amari menggigit bibirnya, kembali terekam jelas di kepala bagaimana Martin menciumnya, memainkan jari-jarinya, dan memuaskannya sampai melayang ke langit ke tujuh.
"Kau bercinta dengan siapa?" Maggie bahkan membalikkan badannya, akhirnya setelah sekian lama Maggie kembali mendengar Amari bercinta. "Setelah belasan tahun kau sulit melupakan sex pertamamu akhirnya kau melakukannya lagi, bagaimana rasanya huh?"
Luar biasa, rasanya duniaku dipenuhi bunga.
"Rasanya, luar biasa."
"Dengan siapa kau bercinta?" Edwin bertanya.
"Seseorang, pria dengan tato burung di pinggangnya." Amari menahan bibirnya untuk tidak mengucapkan nama 'Martin' biarkan saja hanya ia dan Martin yang tahu.
"Kau memakai kondom saat bercinta?"
"Tentu saja sialan." Amari mendendang kursi Maggie. "Kau pikir aku sepolos apa. Aku bukan bocah enam belas tahun seperti dulu."
"Kita sudah sampai." Edwin membelokkan mobil masuk ke pekarangan rumah Amari yang biasa saja.
Di depan pintu terlihat Irma berkacak pinggang dengan seorang anak perempuan berusia delapan tahun di sisinya. Tanpa ragu Amari keluar dan melambaikan tangannya pada sang mama yang ternyata menatapnya tajam.
"Anak nakal! Beraninya kabur dari rumah lalu sekarang pulang!" suara Irma yang galak tidak menghambat Amari untuk berpelukan dengan keponakannya - Naila putri dari kakak pertamanya Penn.
"Hai sejak kapan kau berada di sini?" Amari mengelus surai halus Naila yang sama dengannya, coklat bergelombang.
"Sejak kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Desire
RomanceSemua berawal sejak Amari bertemu si bandar narkoba beraroma coklat yang bagaikan heroin, Abraham Martin Pablo Dakken. Pengikutnya mengenalnya sebagai Abraham sosok pemilik kartel narkoba sedangkan Amari mengenalnya sebagai Martin teman tidurnya sat...