Chapter 1. Perfumes de chocolate

491 14 0
                                    

Musik yang keras serta kondisi lampu remang-remang begitu menguntungkan untuk Amari mengeluarkan bungkus kecil berisi serbuk putih dari dalam tas mewahnya, sekitar empat plastik kecil itu Amari taruh di atas meja bundar yang penuh botol alkohol. Empat pria di depan Amari langsung menatap bahagia pada bungkus serbuk itu.

Serbuk-serbuk bagaikan gula halus yang orang bodoh pun tahu bahwa itu narkoba. Incaran para manusia gila yang berkedok senang-senang.

"Aku mau pembayaran dimuka." Amari menutup plastik itu saat salah seorang pria akan mengambilnya.

"Uang dimuka. Berikan uangnya dulu."

Salah seorang pria menggeram kesal dan lantas menaruh beberapa lembar euro di atas meja.

Amari tersenyum. "Ambillah, selamat bersenang-senang sayang."

Sambil berjalan pergi Amari menghitung lembaran uang di tangannya, walau tidak sebanyak biasanya tapi uang ini sangat berarti untuknya. Uang, uang, dan uang. Bukan karena Amari kekurangan uang hanya saja Amari suka uang.

Semua suka uang apa lagi kalau banyak.

Begitu fokus menghitung uang sambil berjalan ditengah keramaian Amari sampai menabrak bahu seseorang yang membuatnya terasa terjatuh... Amari memejamkan matanya namun saat ia membuka matanya, Amari tidak mendapati dirinya terjatuh mengenaskan di lantai melainkan jatuh dipelekukan pria asing. Satu tangan pria itu melingkar di pinggangnya dengan erat.

Dalam waktu singkat aroma coklat yang manis menusuk indra penciumannya. Belum sempat Amari melihat dengan jelas wajah pria yang menabraknya pria itu sudah berucap pelan nan berat lalu pergi.

"Cuidado con tu paso señorita."

Aksennya bukan orang Spanyol.

Amari membeku sesaat sebelum ia mengumpat kasar karena uangnya terinjak-injak. Berjongkok memunguti uangnya Amari melirik ke samping melihat punggung pria yang menabraknya tengah meninju seseorang lalu masuk ke dalam ruangan yang dijaga ketat.

Aroma parfumnya masih terasa di hidung Amari. Coklat yang manis namun, seksi.

...

Barcelona, Spanyol.

Rumah sederhana kediaman Amari biasanya di minggu pagi akan diramaikan dengan suara-suara bising. Pertama suara mamanya yang memasak sambil mendengarkan musik, lalu mengurus tanaman di belakang rumah. Dan sisanya suara kebisingan dari ketiga kakak laki-lakinya serta sang ayah yang sibuk bertarung di ring.

Meregangkan otot tubuhnya yang kaku Amari merampas ponsel di meja samping ranjangnya, melihat jam yang mendekati angka sembilan.

"Amari kau sudah bangun?"

Amari menyibak selimut, turun dari kasur dan berjalan keluar kamar sambil mengikat rambut panjangnya.

"Amari Rosón Esmeralda!"

"Aku sudah bangun."

Suara pelan Amari di sisi ibunya- Irma- membuat ibunya itu terkejut. Nyaris saja vas bunga yang sedang di cuci terjatuh.

Berjalan menjauh Amari mengambil duduk di kursi meja makan yang mana di sampingnya ia bisa melihat ketiga kakaknya sedang olahraga tinju atau pun mengangkat barbel. Dinding di sini terbuat dari kaca membuat Amari bisa melihat ke taman rumahnya yang pas-pasan. Ketiga kakak Amari berolahraga tanpa mengenakan kaos, dadanya telanjang memperlihatkan pahatan otot yang keras dan menggiurkan. Melihat itu Amari kembali teringat pria di club semalam, saat tubuhnya menabrak bahu pria itu rasanya bahu itu keras dan tegap lalu saat tangan pria itu melingkar di pinggangnya itu terasa kokoh dan kuat.

Aw... tampaknya pria itu berotot gagah dibalik jas dan kemejanya.

"Amari apa yang kau lihat? Kakak-kakakmu? Mereka tampan?" ucap Irma.

Belum Amari jawab ketiga kakaknya sudah berkicau.

"Amari apa kau terpesona?"

Amari memutar malas matanya mendengar ucapan kakak ketiganya apa lagi pria itu mengedipkan satu matanya.

"Amari!"

"Kalian menjijikkan." Balas Amari yang berjalan menuju kamarnya.

Memasuki kamar Amari mendapati ponselnya berdering saat diambil ponselnya berhenti berdering dan berganti sebuah pesan masuk. Sahabatnya mengirim foto undangan berwarna hijau tua dengan aksen emas.

- Amari! Kita harus datang, dalam seumur hidup kita ini bisa jadi pertama dan terakhir kalinya kita diundang ke pesta besar. Para miliarder akan berkumpul di sana.

Dilihat kembali foto undangan tersebut dan ternyata pesta diadakan di Meksiko, tempat kelahiran ibunya. Dan tempat ia dulu bersekolah selama dua tahun sebelum dikeluarkan dari sekolah itu.

-----

To be Continued...

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang