Chapter 16. Las chispas

133 4 0
                                    

Demi apa pun jantung Amari berdetak tak karuan antara senang dan kesal saat berpapasan dengan Martin. Matanya yang tepaku dengan mata Martin perlahan turun melihat luka di sudut bibir pria itu yang disertai memar sedikit di rahangnya.

Tapi walau begitu Martin tetaplah tampan.

"Martin, mau apa kau di tokoku?"

"Estoy buscando una cuerda para castigar al traidor."

"Huh?" Amari melongo sesaat sebelum ia menarik lengan Martin membawanya pergi ke gang kecil tepat di sebelah toko.

"Mau apa kau, mau melaporkanku ke polisi? Mau menuntut ganti rugi atau kau membalas dendam padaku?" kesal Amari.

"Aku bilang aku mencari tali untuk menghukum seorang pengkhianat."

Amari bergidik ngeri, "Apa kekasihmu itu selingkuh huh? Tapi maaf tokoku tidak terbuka untukmu."

"Ini bukan tentang cinta."

Lalu tentang apa? Amari bertanya dalam batinya sendiri.

"Namanya pengkhianat pasti seorang kekasih yang selingkuh," gumam Amari.

Tidak mendapat balasan Amari menatap Martin yang malah membuatnya mengingat kejadian semalam. Berengsek kenapa semalam ia harus bertemu Martin yang menggandeng wanita lain, wanita yang lebih cantik darinya.

"Siapa wanita semalam?" tanya Amari matanya menyorot tajam agar Martin tahu bahwa ia sedang marah atau lebih tepatnya cemburu.

"Apa yang dilakukan Fabio di rumahmu?"

Amari mendengus, Martin dan kebiasaannya.

"Aku tidak tahu." Balas Amari acuh tak acuh.

Martin maju selangkah membuat Amari refleks mundur. "Aku memiliki penawaran baik untukmu."

Martin kembali maju dan Amari terus mundur hingga menubruk dinding, terimpit tubuh Martin yang besar di mana tangan kirinya terulur tepat di sisi wajah Amari.

Tuhan, dalam posisi sedekat ini aroma manis coklat dari tubuh Martin menguar memabukkan bagi Amari. Pendiriannya untuk marah pada Martin seakan runtuh saat wajah pria itu mendekat.

Apa Martin akan menciumnya?

"Aku tidak mau terlibat dalam penawaran baikmu itu. Baik untukmu dan buruk untukku." Ujar Amari.

"Apa yang dilakukan Fabio di rumahmu?" Tanya Martin kembali.

"Aku tidak tahu."

Tanpa diduga Martin menyentuh dagu Amari dengan telunjuk dan ibu jarinya, Martin menggerakkan kepala Amari untuk menoleh ke arah jalan yang tak lama menampilkan seorang pria melintas di depan sana.

Amari menyentak lengan Martin dan mendorong pria itu menjauh, lama-lama jantungnya meledak berdekatan seperti itu.

"Kau mencari kesempatan untuk menyentuhku huh? Setelah semalam mencampakkanku."

Mencampakkan? Sungguh wanita gila.

"Sudahlah pergi saja dariku, jangan berharap lebih dariku." Ucapan Amari melantur. Ia juga semakin mengungkit kejadian semalam dengan mengikuti gaya ucapan Martin 'jangan berharap lebih dariku.' Saat hatinya sudah bertekad pergi meninggal Martin seperti yang pria itu lakukan semalam tapi Martin malah menahan tangannya.

"Apa maumu?" kesal Amari.

"Pria yang lewat tadi suruhan Fabio. Dia mengataimu sejak tadi." Entah kenapa Martin semakin kencang mencekal lengan Amari, rahangnya mulai mengeras melihat Amari yang tak mau menatap matanya. Amari juga berusaha melepaskan cekalannya.

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang