Kabul, Afghanistan.
Afghanistan negara yang sedang dikuasai Taliban serta negara yang sedang kacau bahkan tadi saat di pesawat Amari melihat berita terbaru dari kota Kabul bahwa ada ledakan bom bunuh diri di dekat kantor Kementerian Luar Negeri Afghanistan. Dari yang Amari tahu juga Afghanistan adalah negara pemasok opium terbesar di dunia, saking besarnya perdagangan narkoba di Afghanistan diyakini bahwa pemerintah pun ikut terlibat.
Pagi-pagi buta Amari, Cal, Miguel, Alana serta beberapa orang lainnya mendarat di Kabul Internasional Airport. Ada banyak mobil berjejer segala jenis dan semuanya mewah namun Amari malah digiring masuk ke dalam Jeep Gladiator bersama Cal. Tas-tas besar di masukkan di setiap mobil lalu mobil yang di tumpangi Miguel serta Alana berjalan lebih dulu.
Mobil melaju di gelapnya langit sampai sinar matahari mulai perlahan menyinari kota Kabul. Sepanjang jalan Amari melihat orang-orang tidur di pinggir toko, bangunan ibadah, atau bahkan tepat di pinggir jalan. Mereka seolah tidur damai tanpa merasakan debu yang membuat mata perih.
"Mereka semua lari dari Taliban." Ucap Cal, sontak Amari melirik pria itu yang asyik merokok. "Kau sudah baca berita bahwa ada bom bunuh diri di dekat kantor kementerian."
"Aku sudah baca."
"Berhati-hatilah selama di sini. Empat tahun lalu tuan Abraham pernah membawa wanita ikut dalam perjalanan bisnis seperti ini namun wanita itu berkhianat, sejak saat itu tuan Abraham enggan membawa wanita namun hari ini tuan Abraham mengizinkanmu ikut. Jujur saja siapa kau?"
Amari terkekeh pelan dalam hati ia berkata 'Mungkin Martin- bukan tuan Abraham ingin aku ikut karena aku pernah tidur dengannya. Sekarang dia mengajakku karena dia ingin aku tidur dengannya lagi, memuaskan nafsunya- what!'
Sekarang Amari menggeleng keras membuang pikiran buruknya. Dari mana pikiran itu menyusup ke kepala? Mungkin saja Abraham membawanya karena... karena ia adalah wanita hebat. Kurir yang selalu lolos dari polisi.
"Ada apa denganmu? Katakan siapa kau?" tanya Cal kembali.
"Aku Amari, tuan Abraham mengajakku karena tuan Miguel merekomendasikan aku. Aku adalah kurir terbaik." Balas Amari.
Cal menghembuskan asap rokok terakhirnya sebelum ia lempar puntung rokok keluar, pria dengan luka di kening itu menyipitkan matanya. "Bukan itu. Ada sesuatu di antara kau dan tuan Abraham."
...
Empat jam perjalanan membuat pantat Amari panas serta pegal saat turun dari mobil buru-buru ia meregangkan otot sambil melihat keadaan sekitar. Bangunan-bangunan besar setengah jadi layaknya pada film-film action, orang-orang seram yang menutup wajah dengan masker buff, dan senjata laras panjang di pelukan setiap orang jangan lupa ada beberapa senjata kecil lainnya yang menempel di pakaian mereka.
Udara di sini cukup berdebu, pasir-pasir beterbangan membuat Amari harus menutup matanya dengan tangan. Apa lagi saat mobil Ferrari berhenti di depannya membuat mata Amari kelilipan.
Sial siapa yang membawa mobil ugal-ugalan.
Abraham begitu gagah keluar dari kursi penumpang saat pintu dibukakan, seorang pria melepas buff lalu mendekati Abraham. "Assalamualaikum. Mr. Ali and Vincent are already inside."
Pelafalan bahasa Inggris pria itu tidak cukup baik namun tetap bisa dipahami. Abraham, Miguel, serta seorang pria yang setia di sisi Abraham melangkah masuk ke dalam bangunan diikuti lima orang pria lainnya. Amari bersandar pada mobil Jeep lalu diikuti oleh Cal, matanya tak lepas menatap Abraham walau pasir menghalau pandangannya.
"Siapa pria di sisi Mar- bukan tuan Abraham selain tuan Miguel?" tanya Amari.
"Maksudmu Asto, dia orang kepercayaan tuan Abraham. Asto itu pria berdarah Skotlandia saat kau mendengar aksen bicaranya kau akan terngiang-ngiang."
Dalam hatinya Amari tertawa, mau bicara si Asto itu kental dengan aksen Skotlandia yang membuat terngiang-ngiang tapi bagi Amari aksen Martin saat berbicara bahasa Spanyol tak ada duanya.
"Amari apa kau kenal siapa tuan Abraham selain dia kepala kartel narkoba ini?" tanya Cal, pria itu mulai tampak seperti temanya yang berbicara santai.
"Memangnya siapa Abraham. Artis? Model? Penyanyi? Atau pengusaha?"
"Sudahku duga. Abraham itu salah satu putra presiden Amerika Serikat. Pablo Dakken, seorang presiden apa kau tidak mengenalnya?"
Amari menutup mulutnya ia benar-benar terkejut tidak di buat-buat. "Pablo, Abraham adalah putra dari Pablo. Ya tuhan benarkah."
Aku tidur dengan putra dari seorang presiden. Oh ya tuhan...
"Benar, Pablo memiliki tiga putra. Peter, Abraham, dan si berengsek Williamson. Lalu apa kau tahu juga tentang Mayer Gigante?" lagi Amari menggeleng ia sungguh tak tahu siapa itu. Cal memutar malas bola matanya. "Mayer Gigante adalah seorang mafia Italia-Amerika di Amerika, dia juga menjadi pemimpin dari keluarga kriminal Genovese dia diakui sebagai bos kriminal yang paling kuat di Amerika. Dan Mayer Gigante adalah bagian dari keluarga Dakken."
"Benarkah...." Amari tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Sebenarnya keluarga Dakken dikenal sebagai mafia sejak dulu. Mereka menurunkan kekuasaan itu untuk cucu-cucu mereka walau pun darah mereka sudah bercampur."
"Argh memusingkan, aku ingin mencari udara segar." Amari membawa kakinya melangkah menjauh dari Cal sedangkan pria itu berteriak mengatakan waktu Amari mencari udara segar hanya lima menit jika lebih maka ia akan ditinggalkan. Sebagai respons Amari mengacungkan jari tengahnya.
Selama kaki Amari masih melangkah di area bangunan pria-pria seram bersenjata tak henti menatapnya dengan tajam seolah Amari ini adalah penyusup. Sekitar beberapa ratus meter dari bangunan yang diinjak oleh Amari terdapat pemukiman warga. Kaki Amari terbawa untuk melangkah ke sana melewati belakang bangunan, dengan langkah riang Amari menuju belakang gedung dan seketika langkah kakinya terhenti saat mendengar suara grasah-grusuh serta suara seseorang berbisik-bisik menggunakan bahasa Persia.
Menyusuri dinding kotor Amari mengintip perlahan melihat sekitar enam pria sibuk dengan sesuatu, menyipitkan matanya Amari mengenal benda tersebut.
Bom.
"Sial perasaanku tidak enak," gumam Amari.
Salah seorang dari enam pria tersebut melangkah pergi spontan Amari juga berlari pergi. Kakinya berlari kencang menerobos pria-pria seram lalu kembali menerobos masuk ke dalam bangunan. Aksi Amari mengundang semua orang untuk menodongkan senjata api mereka.
"Keluar! Bangunannya akan di ledakkan!" nafas wanita itu memburu, dugaannya semakin yakin bawah sesuatu yang buruk akan terjadi.
Amari kembali membawa langkahnya lari menerobos semakin masuk dan menendang asal pintu kayu yang buruk. Di dalam ruangan sekitar delapan pria termasuk Abraham langsung menodongkan Amari pistol dan memasang ekspresi waspada.
Mungkin semua orang itu merasa terkejut, jantungnya sama seperti Amari yang berdebar.
"¡salir! ¡sal de aquí! hay una estúpida bomba¡"
Tepat saat itu suara ledakan di bangunan sebelah menggelegar. Dentumannya membuat tanah bergoyang serta butiran pasir yang beterbangan menyatu dengan udara, sirene mobil berbunyi saling sahut-menyahut.
Orang-orang di dalam berlari keluar buru-buru sampai menabrak tubuh Amari, nyaris wanita itu terjerembap jatuh sebelum tangannya dicekal oleh Abraham. Kuping Amari berdenging, kepalanya terasa pusing tak tertolong.
"Pegang ini." Abraham memberi Amari tas besar.
"Para bandit itu sudah beraksi." Ucap Asto.
Dalam pandangan mata yang samar-samar Amari melihat Abraham bukan Martin menggenggam tangannya lalu tangan satunya membawa senjata api. Cekalan di tangan Amari bukan main kencangnya seolah wanita itu tak boleh lepas.
"Martin." Amari tidak menghentikan langkah kakinya, ia terus berjalan keluar bangunan terburu-buru bersama Martin dan orang-orang lainnya.
Martin melirik Amari. "Telingaku berdarah." Amari menunjukkan darah di tangannya.
------
# To be Continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Desire
RomanceSemua berawal sejak Amari bertemu si bandar narkoba beraroma coklat yang bagaikan heroin, Abraham Martin Pablo Dakken. Pengikutnya mengenalnya sebagai Abraham sosok pemilik kartel narkoba sedangkan Amari mengenalnya sebagai Martin teman tidurnya sat...