Chapter 25. Por una compensación justa

39 2 0
                                    

"Aku tidak tahu, aku baru saja mengantar Olivia pulang. Aku menyeberang jalan dan tiba-tiba saja mobil hitam melaju kencang seolah ingin menabrakku, beruntung aku refleks menghindar. Aku yakin mobil itu sengaja menabrakku karena Olivia bilang mobil itu semula diam saja tapi saat aku menyeberang mobil itu langsung melaju kencang."

Kalimat kakaknya kemarin terus berputar di kepala, selain itu ancaman-ancaman Fabio juga ikut memenuhi kepala Amari. Ia yakin bahwa apa yang terjadi pada Yesen adalah hal yang direncanakan.

Fabio sudah membuat banyak rencana, salah satu rencananya adalah jika ia mati maka anak buahnya yang akan menjalankannya. Amari harus menemui anak buah Fabio, tapi di mana.

Sejak kepulangannya kemarin anak buah Fabio yang biasanya terlihat mondar-mandir di sekitar rumahnya sekarang sudah tidak ada.

Mereka tak mungkin pergi, mereka pasti bersembunyi. Amari harus mencarinya.

Pertama-tama ia akan menggeledah kamar Fabio, jika Fabio bisa mengacak-acak kamarnya maka Amari juga bisa mengacak-acak kamarnya. Apa lagi ini rumahnya.

Kita lihat ada apa di kamar pamannya itu.

Dari kamarnya Amari beralih ke kamar Fabio yang berada di lantai bawah dekat dengan kamar orang tuanya. Sebelum memasuki kamar pamannya Amari menoleh ke kanan-kiri memastikan bahwa tak ada yang melihatnya, dan dengan langkah pelan Amari memasuki kamar Fabio.

Keadaan kamar Fabio rapi, membuat Amari membuka semua laci dan lemari berharap menemukan apa pun yang berharga. Tapi, kali ini Amari tidak mengacak-acak kamar Fabio seperti yang ia lakukan pada kamar Martin, Amari hanya membuka semua laci mencari sesuatu lalu menutupnya kembali dan beralih ke laci yang lain.

Tak ada apa-apa di dalam laci Fabio, isinya hanya barang tidak berguna seperti buku, dompet kosong, atau kunci mobil. Beralih ke lemari besar Amari mengacak-acak baju Fabio hingga ia menemukan ponsel mati dan selembar amplop bertuliskan 'Amari'.

"Sial apa ini untukku." Geram Amari.

Amari membuka amplop tersebut, di sana tertulis.

- Aku tahu rencanaku pasti gagal, tapi tidak dengan rencana bosku.

"Bajingan sialan." Umpat Amari, hendak membaca kalimat selanjutnya pintu kamar Fabio tiba-tiba saja terbuka. Bola mata Amari sontak melebar terkejut, dengan refleks Amari menyembunyikan surat dan ponsel Fabio di belakang tubuhnya.

"Amari sedang apa kau?" Regan bertanya.

"Aku...."

Regan tak hanya datang sendiri, dua orang polisi menemaninya di belakang. Jantung Amari nyaris copot karena salah satu polisi tersebut seseorang yang pernah menangkapnya di club karena ia membawa narkoba.

Ya tuhan!

"Amari?" panggil Regan.

Amari menunduk lalu meremas kertas ditangannya yang ia memasukkan ke dalam saku celana bersama ponsel.

"Amari sedang apa kau di sini?" Regan bertanya kembali.

Polisi yang mengenali Amari sekilas mengerutkan keningnya.

"Aku..." Amari menunduk agar rambutnya bisa menutupi wajahnya. "Aku hanya penasaran, aku mencari sesuatu yang mungkin bisa menemukan paman."

"Keluarlah polisi yang akan mencarinya. Kau bukan detektif."

"....Baiklah." Sambil terus menunduk menutupi wajahnya Amari berjalan keluar.

Rasanya ia sangat malu, takut, dan tegang. Hingga membuat bibirnya tak henti bergerak tanpa suara untuk berdoa agar jalanya lancar sampai keluar. Melintas tepat di samping polisi yang mengenali Amari, polisi itu malah menahan tangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang