Mata Amari menatap teliti akuarium Martin yang besar. Akuarium yang dihiasi oleh patung Budha, rumput hijau serta ranting-ranting pohon. Matanya selain terkagum-kagum terhadap ikan penuh warna, Amari juga sedang teripuh malu mengingat 'Morning sex class' yang terjadi beberapa jam lalu. Dari sudut matanya Amari melihat Martin berjalan menuju meja samping kasur mengambil ponselnya lalu duduk di sofa.
Amari menatap pria itu yang sekarang sedang menyalakan televisi. "Kau bilang kau hanya bercinta satu kali tapi hari ini kau bercinta dua ah tidak tiga kali, kau hiperseksual."
Sialan Martin sampai terkejut, pria itu bahkan nyaris melempar remote televisi di tangannya pada Amari yang mulutnya frontal sekali.
Kalimat hiperseksual sangat mengganggu telinganya. Baru kali ini ia mendengar seseorang berbicara seperti itu selain teman atau keluarganya.
"Apa kau melanggar prinsip hidupmu sendiri." Amari perlahan mendekat pada Martin, ia tidak takut dengan tatapan tajam pria itu.
"Itu buka prinsip hidupku, itu hanya kebiasaanku."
"Aku tidak percaya."
Ah tak ada gunanya berbicara dengan wanita itu.
"Kemari." Martin menggerakkan tangannya mengkode agar Amari mendekat namun belum sempat wanita itu melangkah pintu kamar diketuk tidak sabar.
Martin berdecap kesal padahal ia baru saja ingin membodoh-bodohi Amari. Ketukkan pada pintu terus menggema hingga dengan kesal Martin membuka pintu tersebut. Dari dalam Amari mengintip melihat Asto berdiri di depan pintu lalu menggeleng pelan.
Ada apa?
Satu kalimat pendek samar-samar terdengar di telinga Amari.
"Fabio bunuh diri." Asto menggeretakkan gigitnya geram, lalu ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan rekaman CCTV.
Di dalam ruangan dengan lampu temaram Fabio terikat di kursi, pria yang sudah lemah karena hampir nyaris dua hari tidak makan dan minum itu ternyata menyimpan pisau kecil di belakang tubuhnya.
Sial Martin kecolongan.
Melepas ikatannya Fabio lantas berdiri menghadap kamera CCVT dan aksi selanjutnya sesuai dugaan pria gila itu menyayat lehernya hingga darah mengalir deras membuatnya tewas.
"Apa dia baru saja melakukan Harakiri." Martin berdecap kesal.
"Mayatnya masih berada di ruangan."
"Haruskan aku memberi penghormatan terakhir?" Martin melangkah maju dan menutup pintu kamar membuat Amari berlari mengejarnya sebelum pria itu benar-benar menutup pintu dengan rapat.
Hingga Amari dapat menahan tangan Martin membuat Martin mengerutkan keningnya, menunggu kalimat apa yang akan ia ucapkan. Amari lantas melirik Asto yang juga menatapnya sejak tadi, entah kenapa ia takut mengucapkan kalimatnya.
"Amari." Panggil Martin.
Amari menggigit bibirnya. "Martin, Fabio-"
"Kau menguping?" Sela Martin. "Apa yang kau dengar?"
"Fabio bunuh diri, tapi Martin kumohon dengarkan aku. Fabio sudah seperti saudara bagi papaku. Tolong kembalikan mayat Fabio pada papaku, buat rekayasa kalau Fabio kecelakaan atau dirampok, jangan biarkan papaku tahu kalau Fabio seorang penjahat."
Martin mengerutkan keningnya tebal, Amari menunggu takut-takut jawaban Martin namun sial.
"Martin." Gilberto datang dari arah tangga bersama dua orang polisi, hal itu membuat ucapan Amari tidak dibalas oleh Martin.
"Tunggu aku," Martin melepaskan cekalan tangan Amari. "Gilberto bawa Amari."
Amari hanya bisa terdiam melihat Martin meninggalkannya bersama Gilberto.
"Kau sudah makan?" tanya Gilberto yang dibalas galengan kepala oleh Amari. "Kalau begitu ayo kita turun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Desire
RomanceSemua berawal sejak Amari bertemu si bandar narkoba beraroma coklat yang bagaikan heroin, Abraham Martin Pablo Dakken. Pengikutnya mengenalnya sebagai Abraham sosok pemilik kartel narkoba sedangkan Amari mengenalnya sebagai Martin teman tidurnya sat...