Semalam langit begitu cerah bersinar namun pagi ini berbanding jauh. Matahari yang tugasnya menyinari langit bersembunyi entah ke mana dan berganti dengan gumpalan-gumpalan awan hitam yang menghiasi langit ditemani embusan angin kencang yang seolah ingin berperang. Angin dingin serta kondisi langit yang gelap pertanda hujan deras akan turun, dan benar tak lama tetesan-tetesan air membasahi bumi.
Martin yang sedang duduk di sofa lantas melirikkan matanya menyaksikan Amari yang berguling menarik selimut membungkus tubuhnya. Entah setan jenis apa yang merasuki Martin sampai pria tanpa hati itu bangkit dari posisi nyamannya hanya untuk mengambil remote AC di meja samping kasur lalu mematikan AC yang dinginnya menusuk kulit.
Setelah mematikan AC Martin bukannya kembali duduk, pria itu berdiri diam menatap Amari. Amari wanita itu cantik rambutnya coklat bergelombang dan senyumnya membuat Martin terngiang-ngiang. Semakin dalam menatap Amari, ucapan Miguel semalam kembali teringat. Amari seorang kurir dia bekerja pada Miguel sejak usianya dua puluh tahun dan di dua tahun pekerjanya Amari tertangkap polisi beruntung Miguel berhasil mengeluarkan Amari.
Suara Miguel yang memenuhi telinga berganti dengan bayang-bayang adegan semalam yang liar.
"Aku tahu aku gila, tapi aku tidak mau melewatkan momen ini."
Bibir wanita itu mendarat di bibirnya walau tidak bergerak namun sensasinya masih terbayang di benak Martin.
Mendengar suara Amari yang mengerang halus Martin tersadar. Wanita itu mengangkat kedua tangannya, meregangkan otot yang kaku lalu matanya perlahan terbuka.
"Buenos días."
Amari membeku, ia merasa dirinya masih dalam pengaruh alkohol. Tidak mungkin pria yang semalam ia bayangkan kini berdiri di depan matanya dengan tampan dalam balutan kaos singlet putih ketat yang mencetak otot-otot tubuhnya.
"Buenos días, Amari." Sapa Martin kembali.
Amari tersadar matanya seketika melirik ke arah lain. Sial jantungnya malah berdebar tak karuan.
"Kau ingat apa yang terjadi semalam?" tanya Martin.
"Semalam..."
"Sudah kuduga." Martin mengangguk kecil. "Bersihkan wajahmu, kau menyeramkan."
"Tunggu." Amari duduk bersila di atas kasur, matanya menatap ke sekeliling. "Di mana aku?" tanyanya dengan ragu-ragu.
"Kamarku." Martin melangkah menjauh.
"Kamarmu!" Amari memekik keras.
Kamarku.
Kamarku.
Kamar Martin. Tuhan apa yang terjadi semalam?...
Amari menunduk melihat bajunya masih melekat di tubuh yang artinya tidak terjadi sesuatu.
"Bersihkan wajahmu, kau beraroma alkohol." Ucap Martin lalu pergi menjauh.
Amari memperhatikan pria itu yang duduk di sofa sambil mengganti-ganti channel televisi. Dengan langkah tanpa suara Amari memasuki ruangan yang pasti toilet.
Memalukan. Satu kata yang terucap dari bibir Amari. Pakainya memang masih rapi tapi wajahnya buruk sekali, bulu mata palsunya lepas sebelah, lipstik merahnya berantakan, rambutnya bagaikan manusia tersambar petir. Beruntung tak ada jejak sisa air liur di sela-sela bibirnya namun bajunya beraroma sangat menyengat alkohol.
Selesai membasuh wajahnya Amari keluar membawa handuk kecil putih sambil mengelap wajah dan lehernya. Sosok Martin yang semula duduk di sofa kini duduk di meja bar menikmati secangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Desire
عاطفيةSemua berawal sejak Amari bertemu si bandar narkoba beraroma coklat yang bagaikan heroin, Abraham Martin Pablo Dakken. Pengikutnya mengenalnya sebagai Abraham sosok pemilik kartel narkoba sedangkan Amari mengenalnya sebagai Martin teman tidurnya sat...