Chapter 12. Traidor

127 5 0
                                    

Barcelona, Spanyol.

Pagi-pagi sekali Maggie datang ke rumahnya bagaikan maling dalam kondisi mengenaskan. Wanita itu yang biasanya lincah malah datang dalam kondisi wajah lemas lesu karena menangis. Saat Maggie datang langit bahkan masih gelap. Amari yang masih mengantuk tidak bisa mendengarkan cerita Maggie yang pasti panjang.

Amari memilih tidur menunggu matahari terang-benderang dan saat ia bangun ia malah mendapati Maggie kembali terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Aku ke kamar mandi dulu, tenangkan dirimu setelah itu cerita padaku." Amari mengelus-elus punggung Maggie yang bergetar.

Sekarang setelah Amari yang tampil segar dan Maggie yang sudah tenang, Amari mengambil duduk di samping Maggie yang bagaikan mayat hidup.

Amari menghela nafasnya, terakhir kali ia melihat Maggie seperti ini saat Maggie kehilangan uang lalu sekarang ada apa? Uangnya hilang lagi.

"Maggie?" Amari menyentuh lengan Maggie yang bertautan memainkan jari-jarinya.

"Zack... memutuskan aku." Maggie kembali menangis, sesenggukan.

"Kenapa? Kenapa pacarmu memutuskanmu?" Amari menarik Maggie ke dalam pelukannya, mengelus punggung sahabatnya dan sesekali mengelus surai panjangnya. "Zack tidak menamparmu bukan?"

Pertanyaan itu terlontar karena dulu Maggie pernah ditampar oleh Zack sialan.

Maggie menggeleng, tubuhnya masih bergetar karena tangis. "Zack.. hiks..."

"Bicaralah perlahan."

"Zack.. mengetahui hubunganku dengan tuan Miguel."

Sedetik kemudian ekspresi wajah Amari yang semula prihatin dengan Maggie seketika berubah menjadi datar. Amari melepaskan pelukannya dan menatap tajam Maggie yang juga menatapnya.

"Amari, Zack mengetahuinya."

Tangannya terangkat ingin menampar keras wajah Maggie tapi pada akhirnya Amari hanya memukul pelan pipi Maggie. "Sialan, kau masih menjadi simpanan tuan Miguel?" Melihat respons Maggie yang mengangguk Amari mendengus halus, rasa sedihnya berubah menjadi jengkel.

"Amari—"

"Maggie, aku tahu awalnya kau hanya bermain dengan Miguel tapi jika sudah diteruskan sejauh ini kau bisa jatuh cinta pada pria berengsek itu."

Maggie malah diam saja, menunduk layaknya anak kecil yang dimarahi oleh ibunya. Amari kembali merasa kasihan, ditariknya sahabatnya serta dipeluk begitu erat.

"Maggie, jangan sedih lagi." Amari mengelus lembut punggung Maggie.

Suasana penuh haru langsung berubah saat pintu kamar Amari dibuka keras oleh Liam, kakak ketiga Amari itu menatap heran adiknya yang berpelukan dengan sahabatnya.

"Liam!" kesal Amari. "Kau harus ketuk pintu jika ingin masuk!"

"Mama memanggilmu, cepat turun kau belum makan dari semalam, merepotkan." Liam pergi meninggalkan pintu kamar adiknya yang terbuka lebar.

"Kau belum makan dari semalam?" tanya Maggie. "Kau sakit? Biasanya kau doyan makan."

Amari menggigit bibirnya lalu menggeleng pelan. "Ayo turun."

Meja makan ramai dengan adanya Maggie, sahabatnya itu bisa kembali tertawa dengan Nova- istri kakak pertamanya Penn- selain itu meja makan juga semakin ramai dengan adanya sosok penuh tawa yang baru datang beberapa hari yang lalu, pamannya Fabio. Kedatangannya bahkan mengejutkan Amari yang baru pulang kemarin sebab sang paman yang bekerja di Filipina sudah lama tidak pulang, semua orang merindukannya. Ayah dan ketiga kakaknya tidak henti tertawa bersama Fabio membahas kelucuan masa lalu. Sedangkan ibunya bercengkerama bersama Nova dan Maggie.

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang