Chapter 19. Acción nocturna

126 3 0
                                    

Martin a.k.a Abraham.
- Kau belum melaporkan apa pun padaku soal Fabio. Kau mau berkhianat padaku.

Amari membaca pesan yang dikirim Martin dengan jantung yang berdebar gila. Lebih gilanya lagi jantungnya nyaris copot karena kehadiran Fabio.

"Waktumu sudah habis sayang, bawa Abraham seorang diri ke hadapanku."

Amari yang duduk santai di sofa depan televisi bangkit berdiri berhadapan dengan Fabio, matanya lalu melirik jam di ponselnya. Pukul enam sore.

"Semakin lama aku menunggu semakin bahaya untuk keluargamu." Fabio kembali berucap.

"Baiklah jika itu maumu, aku akan membawa Abraham malam ini."

Fabio tersenyum semringah. "Aku suka aksi malam-malam."

"Bajingan, gila." Amari berdesis.

"Kau akan melihat diriku lebih gila lagi, sayang."

Argh! Setan! Amari ingin melempar meja kayu di hadapannya pada wajah Fabio.

Sambil melangkah keluar rumah Amari membelas pesan Martin.

- Kau mau bertemu Fabio?

Sore ini Amari melajukan mobilnya ke kediaman Martin, walau hanya sekali ke rumah pria itu tapi Amari hafal jalannya. Semua tentang Martin Amari ingat.

Tanpa adanya pemeriksaan Amari langsung di izinkan masuk ke istana Martin, Asto sudah berdiri di depan pintu seolah menunggu kehadiran Amari.

"Di mana tuanmu?" tanya Amari.

"Kau sedang emosi?" Asto balik bertanya. Amari menatapnya dengan kening berkerut tebal. "Kau terbakar seperti api." Ucap Asto kembali.

"Di mana Abraham?"

Asto menyingkir sedikit membuat kode gerakan agar Amari melangkah masuk lebih dulu. Amari diarahkan ke ruang santai di mana Martin sedang duduk menatap televisi yang menampilkan film horor. Hantu biarawati yang menyeramkan dengan backsound musik yang seram tidak membuat Martin terkejut, padahal pria itu tampak fokus menatap layar yang besar.

"Kubilang kabari semua hal tentang Fabio, dua hari kau tidak memberi kabar apa pun soal pamanmu itu." Kata Martin yang melihat kehadiran Amari.

"Kau mau bertemu Fabio?"

Martin mengerutkan keningnya, "Kau sedang marah? Kau seperti terbakar api."

Apa sejelas itu emosi yang membakar Amari hingga Asto dan Martin menyadarinya. Bagaimana jika Martin menyadari hal lainnya.

Tidak, tenang saja selagi Amari tidak buka mulut Martin tak akan tahu.

"Tidak, aku tidak sedang marah." Kilah Amari.

"Kau tahu wajahmu seperti kartun burung merah yang siap meledak."

Amari mengerucutkan bibirnya sekilas. "Kau mau tahu apa yang dilakukan Fabio bukan? Ikutlah denganku."

Martin menepuk pahanya lalu bangkit tanpa diduga pria itu menggenggam tangan Amari, menariknya pelan untuk jalan beriringan. "Tunjukan di mana tempatnya?" menurut Amari tidak ada raut kecurigaan sedikit pun dari wajah Martin.

Itu membuatnya takut. Dasar Fabio berengsek! Ia tak bisa berkhianat pada pria yang ia suka.

"Ayo."

Saat Amari melangkah bersama Martin, Asto mengikutinya di belakang membuat Amari menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya ke belakang. Asto menaikkan satu alisnya menatap datar pada Amari.

"Kau, tidak boleh ikut." Amari bahkan menunjuk Asto membuat tampang pria itu semakin tidak enak dipandang. "Hanya aku dan tuan Abraham."

"Kau tidak bisa mengaturku." Tekan Asto.

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang