Chapter 11. El destino de dios

145 5 0
                                    

Cali, Kolombia.

Selain ingin merayakan hari bersejarah karena rival terberatnya telah ditahan aparat negara kepulangan Abraham juga untuk melihat kepergian 30 ton kokain miliknya yang akan berlayar panjang ke Miami. Tenang saja barang haram itu tak akan digeledah apalagi ditahan. Bahkan sekarang di pelabuhan terdapat beberapa polisi yang membantu. Entah mereka tahu apa tidak barang apa yang dibawa pergi.

"Bagaimana dengan Fabio?" tanya Abraham yang bersandar pada mobilnya sambil merokok menatap kapal kargo yang siap berlayar.

Asto melakukan hal yang sama merokok, bersandar pada mobil, dan menatap kapal. "Pria itu masih di Spanyol."

"Fabio?" Gilberto datang menatap heran pada Abraham, menuntut penjelasan lewat tatapan matanya. "Bagaimana kabarnya? Masih hidup dia?"

"Dia berada di Spanyol, bertemu dengan Regan."

"Siapa Regan?" Gilberto mengerutkan keningnya.

"Ayahnya Amari, wanita yang kau temui di Afghanistan ingat."

"Ah wanita cantik itu. Mau apa Fabio menemui orang tua bawahmu Martin?"

Abraham mengedikkan bahunya, "Tidak tahu."

"Aku sudah meminta Carrillo mengawasi Fabio." Ucap Asto.

Gilberto berdesis geram, "Aku sedikit lupa dengan wajah pria berengsek itu."

"Tentu saja wajahnya masih berengsek." Ujar Asto.

Abraham akan ikut berucap tapi ponselnya di dalam saku jaket kulitnya bergetar, menjauh sebentar sambil melihat siapa yang meneleponnya. Nama kontak Lilla meneleponnya namun Abraham tolak panggilan itu, lalu ponselnya kembali bergetar kali ini adiknya yang menelepon.

Williamson.

"Kau di mana?"

Bajingan! Bajingan sekali. Bukan hanya suara Williamson saja yang menyambutnya tapi juga suara bising penyatuan tubuh dan desahan wanita. Dapat dipastikan Williamson adiknya yang berengsek itu sedang mengasah pusakanya.

"Martin kau di mana mom mencarimu!" geram Williamson, dan suara penyatuan itu semakin keras terdengar.

"Fuck you Williamson, kumatikan teleponnya."

Panggilannya berakhir dengan sang adik dan bajingan lagi kini ponselnya berdering menerima panggilan masuk dari sang ibu. Jika bukan ibunya yang menelepon sudah pasti Abraham akan melempar ponselnya ke laut.

"Martin!"

"Yes mom."

"Kau di mana—"

"Aku bekerja, aku sudah bilang aku banyak pekerjaan." Sela Abraham.

"Lilla mencarimu, hubungi wanita itu sekarang." Marry- ibunya memutus panggilan telepon.

Perintah yang tidak bisa dibantah, Abraham harus menelepon Lilla. Panggilan pertama dan tak butuh waktu lama suara Lilla yang halus mengalun di telinganya.

"Abraham, kau di mana?"

Abraham mendengus, ingin tahu saja. "Kolombia."

"Apa kita bisa bertemu? Aku bisa menyusulmu."

Lagi-lagi Abraham mendengus. "Aku sibuk, aku punya banyak pekerjaan."

"Ouh, kalau begitu kapan kau pulang?"

"Tidak tahu."

Lilla terdengar menghela nafasnya. "Kalau begitu kabari aku jika kau akan pulang."

Abraham memutus panggilan telepon karena jika ia membalas ucapan Lilla maka wanita itu akan membalasnya lagi, dan jika dibalas lagi maka pembicaraan ini akan panjang.

Dan Abraham tak suka berbicara dengan Lilla.

...

Pekerjaan Abraham sudah selesai, kegiatan kosongnya Abraham nikmati dengan duduk dipinggir kolam ikan yang luas. Tak ada yang berbeda kolam ikan ini dengan kolam ikan di luar-luar sana yang membedakan hanya jenis ikannya. Ikan-ikan milik Abraham adalah ikan piranha perut merah, ikan air tawar itu sedang berkumpul dititik yang Abraham sebarkan makanan. Setelah selesai diberi makan ikan mulai berpencar ke sana-sini, Abraham melepas sandalnya lalu memasukkan kedua kakinya ke dalam air. Merakan sisik-sisiknya yang menyentuh kulit.

Ikan yang buas ini tak akan memakan kaki Abraham, mereka sudah kenyang. Dari yang Abraham pelajari selama ini dan Abraham praktikkan selama ini, piranha hanya akan memakan manusia atau daging hidup-hidup jika mereka tidak diberi makan satu minggu atau pun lebih.

Itu terbukti saat dua pria yang mengganggu Amari, Abraham lempar ke kolam piranha yang lebih dari seminggu tidak makan. Besok paginya hanya tersisa tulang yang siap diberikan pada anjingnya.

Kedua mata Abraham sesekali terpejam merasakan dinginnya air dan suara getaran ponselnya di atas meja yang tidak jauh. Biarkan saja ponselnya terus bergetar sekuatnya, pasti yang menelepon ibunya jika bukan ya berarti adiknya.

"Martin." Gilberto menepuk bahu Abraham.

"Tuan." Asto juga datang berdiri di sisi kanannya.

"Kalian tak mau ikut denganku duduk di sini. Masukkan kaki kalian ke dalam air." Ujar Abraham di saat Asto dan Gilberto diam saja berdiri.

Gilberto bergidik ngeri, "Aku benci dengan ikanmu, lama-lama mereka akan memakanmu Martin."

"Mereka tak akan memakanku."

Asto mendengus halus, ia juga tak mau memasukkan kakinya ke dalam kolam itu karena dulu ia pernah digigit oleh ikan sialan itu. "Mereka tak akan memakanmu karena mereka tahu kau adalah tuanya."

"Jika mereka menggigitmu sedikit saja aku yakin kau pasti akan langsung mencelupkan ikan itu ke dalam kolam minyak panas." Ucap Gilberto.

"Hentikan, ada apa Asto?"

Asto berlutut ia lantas memberikan empat lembar foto. "Carrillo mengirimkan foto ini, Amari bercengkerama dengan Fabio. Kau harus berhati-hati tuan."

Difoto pertama terlihat Amari, Regan, satu pria asing, dan Fabio sedang bersantai di teras rumah. Difoto kedua dan seterusnya terlihat Amari masuk ke dalam mobil hitam bersama Fabio.

Amari bersama Fabio, ada apa? Kemarin Regan sekarang Amari.

"Pasti ada sesuatu antara Amari dan Fabio. Aku akan mencari tahunya lebih dalam lagi." Ujar Asto kembali.

"Aku lelah bepergian ke sana-kemari. Tapi aku harus pergi, siapkan keberangkatanku nanti malam."

Asto mengangguk mengerti. Ia lantas berdiri dan pergi guna menyiapkan semuanya, meninggalkan Abraham dan Gilberto.

"Nanti malam kau akan ke Spanyol, apa itu tidak terlalu cepat?" ujar Gilberto.

"Aku ingin membereskan semuanya."

Gilberto mendengus halus. "Setelah pekerjaanmu selesai kau harus pulang, ibumu menggangguku terus."

Abraham tidak mendengarkan ucapan Gilberto, matanya memilih fokus menatap salah satu foto yang menampilkan Amari sedang tertawa dan dirangkul oleh seorang pria.

"Padahal aku tak ingin terlibat hal apa pun lagi denganmu Amari, tapi ternyata takdir berkata lain."

-------

# To be Continued...

Perfect DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang