Ø5. BUNGA TAI AYAM

346 45 2
                                    

Hugo sedang bermain game dengan ponsel pintarnya di ruang keluarga saat mendapati adik bungsunya yang bertingkah mencurigakan. Hugo pura-pura nggak tahu, tapi dia memperhatikan, apalagi sewaktu papanya datang, mengambil duduk dan menyalakan televisi.

Reon langsung mendekat dengan senyuman andalan yang biasa dia tunjukan ketika sedang ada mau.

"Papa capek ya? Mau Reon pijitin nggak?" Si bungsu tiba-tiba menawari ayahnya. Hugo langsung melirik dan memasang telinga. Sudah bau-bau kalau adiknya itu memang sedang mau sesuatu.

Raka menoleh, ayah dari empat anak itu merespons tawaran Reon dengan tawa khas bapak-bapak. "Boleh boleh, sini," sahutnya, menegakkan punggung dan menepuk-nepuk pundaknya.

Reon tersenyum, lalu dengan senang hati dia memberi pijatan di pundak sang papa. Tak lama kemudian, Reon berceletuk,

"Papa, Reon 'kan bentar lagi ulang tahun ..."

Raka mengangguk-angguk. "He-em," sahutnya.

Lalu Reon lanjut berkata, "Kalau buat hadiahnya nanti Reon pilih sendiri, bisa nggak?" pintanya dengan suara dan tatapan yang dibuat semembujuk mungkin.

Raka jelas sudah sadar sejak awal dengan niat putra bungsunya ini, kalau tiba-tiba begitu memang sedang mau meminta sesuatu.

"Loh, emangnya Papa mau kasih kamu hadiah nanti?" sahut Raka, menggoda si bungsu.

"Hngg, Papaa ..." Reon merajuk dengan ekspresi cemberut, hingga papanya terkekeh.

"Emang kamu mau minta apa?" tanya Raka seraya mengambil cangkir kopi di atas meja dan menyeruputnya.

Sedangkan Reon masih memijat pundak papanya, walaupun pijatan itu nggak cukup berasa, lebih seperti dicubit-cubit daripada dipijat, tapi Raka membiarkan saja dan menanggapi rayuan yang ingin dilakukan si bungsu.

"Reon mau minta sepeda baru, boleh ya, Pa?"

"Sepeda baru?" Raka mengangguk-angguk, terlihat seperti sedang membuat pertimbangan.

Reon menghentikan gerakannya, lalu ia segera menatap papanya dengan ekspresi puppy eyes dan kedua telapak tangan menyatu membuat pose memohon.

"Boleh ya, Pa?"

"Kenapa nggak minta ke Mama?" Raka bertanya.

Reon mengerucutkan bibir dan menjawab, "Reon udah sering minta Mama, kasian Mama kalau direpotin sama Reon terus, makanya Reon minta ke Papa. Boleh 'kan, Pa?"

Konversasi itu sempat terhenti sesaat ketika Ghea datang, menaruh secangkir kopi di atas meja yang tentu saja disuguhkan untuk suaminya.

Menyadari apa yang dilakukan si bungsu, Ghea pun mengernyit, atensinya beralih menatap Raka.

"Adek kenapa?" Ghea bertanya pada Reon.

"Ritual tahunan lah, Ma." Bukan Reon yang menjawab, melainkan Hugo yang masih berada di sana, tiba-tiba menyahuti pertanyaan sang mama.

"Ritual tahunan?" Ghea mengernyit, belum paham.

"Coba minta ke Mama, boleh apa enggak," ujar Raka pada Reon.

Ghea bingung, tapi setelah itu Reon meminta pada ibunya, yang membuat Ghea langsung paham dengan maksud Hugo.

"Oh itu, ke Papa 'kan tapi mintanya?" balas Ghea.

Reon mengangguk.

"Boleh. Minta aja, tapi dikasih apa enggak diluar keputusan Mama ya?"

Reon mengangguk-angguk kembali.

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang