19. ISENG

345 46 3
                                    

Hugo barusaja pulang ketika melihat Elvano ada di depan rumah sambil semprotin air dari selang membasahi pekarangan, mungkin diminta Ghea untuk menyiram bunga, tapi dari caranya menyiram sangat nggak niat dan terkesan cuma membanjiri pekarangan saja.

Saat Hugo ingin mengabaikan dan langsung masuk ke dalam, langkahnya terhenti seketika, manakala rintikan air terasa membasahinya. Saat Hugo mendongak, lalu menoleh ke belakang, ternyata Elvano sengaja menyemprot air selang ke arahnya, bikin kesan kayak hujan yang memang nyaris Hugo kira adalah hujan.

"Wah, sorry, kepleset tangan gue, nggak sengaja."

Kendati kesal, Hugo tak mengatakan apa-apa, rasa sungkannya jauh lebih besar saat ini. Biasanya, Hugo bakalan ngamuk dan membalas berkali lipat, tapi berhubung hubungan Hugo dengan Elvano tak begitu baik, jadi Hugo diam saja diisengi seperti itu, dia hanya berlalu masuk tanpa berkata apa-apa.

"Lah, melipir aja dia, kok nggak ngamuk sih?" monolog Elvano, segera mematikan air keran dan menggulung selangnya.

Setelah itu, ia berlari masuk ke rumah, yang mana Hugo sudah nggak tertangkap pandangnya, pasti dia sudah masuk ke kamar. Akhirnya, Elvano pun pergi ke belakang, mendekati mamanya yang sedang merangkai bunga untuk mengganti bunga di dalam vas yang sudah layu.

"Ma." Elvano memanggil.

Mendongak sesaat, Ghea menyahut, "Hm?"

"Vano mencium bau-bau orang tobat," adu Elvano, menarik kursi bar dan mendudukinya.

"Mm-hm?"

Elvano menoleh ke belakang sebentar, setelah memastikan nggak ada tanda-tanda kemunculan Hugo, dia berkata, "Hugo kok nggak ngamuk ya, Ma, Vano isengin? Biasanya langsung tantrum."

"Kamu isengin gimana emangnya?"

"Vano siram pake air selang."

"Basah kuyup?"

"Enggak, ya cuma basah dikit doang."

Ghea mengangguk-angguk, pandangannya masih nggak beralih dari tangkai-tangkai mawar merah yang dia potong dan bersihkan beberapa daunnya. "Deketin coba, Bang. Kayaknya sungkan sama kamu. Kemarin, kan sempet berantem."

Elvano mengernyit. "Hugo? Punya sungkan sama Vano? Ma, bahkan dia dari bayi udah nggak punya takut sama Vano."

Ghea tertawa kecil sesaat. "Jangan gitu. Mau gimana pun, kamu, kan abangnya, lebih tua dari Hugo, mau sedikit sekalipun, dia pasti punya rasa sungkan ke kamu, cuma nggak diliatin aja karena udah merasa nyaman. Mama juga gitu sama Om Rangga, karena sering dimanja, Mama kadang suka ngelunjak, tapi di luar itu, Mama punya rasa sungkan dan hormat soalnya Om Rangga, kan abangnya Mama, lahir lebih dulu dari Mama," urainya panjang.

Elvano termenung, kemudian ia menyahut, "Vano tadinya biasa aja, tapi setelah Mama bilang gini, Vano jadi bingung."

Ghea menoleh. "Bingung kenapa?"

Menggaruk rambutnya yang tak gatal, Elvano menyengir. "Ya ... bingung. Tapi, nanti juga pasti bakal baik sendiri kok, Ma, biasanya, kan begitu."

Ghea tersenyum, ia menggeser vasnya yang sudah rapi dan cantik terisi bertangkai-tangkai bunga mawar. "Coba diinget-inget, berapa hari kalian nggak saling sapa? Atau malah, berapa minggu? Kalau bakal baik sendiri, harusnya nggak lama setelah berantem juga baikan, kan? Tapi gimana sekarang, tambah baik apa enggak?"

"...enggak."

"Nah, nggak semua hal bisa diperbaiki waktu, Bang. Mungkin sebelumnya kalian bisa tetep akur setelah berantem, karena berantemnya nggak serius. Tapi, nggak pa-pa, pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru, Hugo pasti juga butuh waktu, kamu tau sendiri, kan adik kamu yang satu itu gengsinya tinggi," ujar Ghea.

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang