15. WHERE I AM?

377 44 5
                                    

"Kenapa, Ka? Tumben." Seorang pria paruh baya seumuran dengan Raka menggeser kursi kemudian mendudukinya setelah melontar pertanyaan pada si empu yang telah menunggunya di tempat mereka membuat janji.

Raka menoleh seraya mengulas senyum, merasa berterimakasih karena sohibnya itu mau untuk dia ajak mengobrol. "Lagi sibuk ya? Sorry kalau gue ganggu," ucap Raka.

Pria paruh baya yang tak lain adalah Bisma itu tersenyum dan menggeleng. "Kaga, kebetulan senggang gue, lo ngehubungin di waktu yang tepat," jawabnya. "Btw, buat gue?" tanyanya menyinggung salah satu cangkir kopi latte yang ada di atas meja.

Raka mengangguk. "Iya, buat lo. Baru aja dateng, minum deh, nanti keburu dingin," jawab Raka sembari meraih cangkir kopinya sendiri dan menyesapnya.

Bisma pun melakukan hal serupa, lalu dia meletakkan kembali cangkirnya dan menatap Raka yang saat ini terlihat ada yang berbeda. "Lo kenapa? Kusut banget tuh muka. Ada masalah sama Ghea?" tanya Bisma, yang jelas langsung menyadari perbedaan itu.

Raka menggeleng. "Enggak. Lagi pengen ngopi sama lo aja, lama juga 'kan kita nggak begini?"

"Kesannya kayak gimana gitu ya, Ka?" Bisma terkekeh.

"Sorry, Bis, tapi gue cinta mati sama Ghea dan nggak punya niatan belok," balas Raka.

Bisma pun tertawa. "Becanda elah," ucapnya disusul tawa Raka yang mengudara.

Lalu beberapa detik kemudian, Raka memanggil, "Bis."

"Hm?" sahut Bisma.

Raka mengembuskan napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan berujar, "Menurut pandangan lo, sebagai sama-sama seorang bapak, gue nih gimana?" tanyanya.

Bisma turut mengembuskan napas panjang, kemudian dia mengangguk-angguk sebelum menjawab, "Menurut gue, jarang sih bokap yang bisa jadi kayak temen sama anaknya, kebanyakan nyokap. Tapi lo bisa, di satu sisi lo santai dan asik bisa becanda dan dibecandain sama anak-anak lo, tapi di sisi lain lo juga tegas, yang walaupun lo bisa diajak becanda, anak-anak lo tetep punya rasa takut dan hormat sama lo sebagai bokapnya," ucap Bisma.

Raka mengangguk paham, tapi sayangnya jawaban Bisma belum cukup menjawab pertanyaannya, jadi pria itu kembali bertanya, "Tapi, dari segi cara gue didik anak tuh kolot nggak menurut lo? Bahkan, dari sebelum anak-anak gue lahir, gue udah diskusi sama Ghea tentang gimana kita didik anak-anak nanti, salah satunya nggak ngizinin mereka kenal rokok sebelum mereka lulus sekolah. Buat gue itu sah aja, justru bare necessities, mau dibilang jaman sekarang jaman modern juga aturan soal rokok dari dulu tetep sama, minimal buat umur delapan belas tahun."

Bisma menyeruput kembali kopinya, lalu menjawab dengan tenang. "Cara orang tua didik anak 'kan beda-beda, Ka. Baik menurut gue belum tentu baik menurut lo. Aturan lo keren sih, apalagi kalau anak-anak lo beneran bisa patuhin di tengah jaman sekarang yang bahkan kayaknya anak SMP aja udah kenal vape. Cuma kadang, pandangan orang tua sama anak tuh nggak selaras, makanya aturan kayak gitu suka disalah artiin sebagai kekangan."

Kemudian Bisma menoleh ke arah Raka. "Anak lo ada yang ngerokok ya? Siapa? Vano?" tanyanya, paham dengan arah pembicaraan dari pertanyaan yang dilontar Raka.

Raka terkekeh. "Boro-boro, baru nyicip dikit juga dia udah kepikiran nyokapnya bakal ngamuk."

"Terus siapa? Kembarannya?"

Raka menggeleng. "Hugo. Ghea sendiri yang nemuin bungkus rokok di kamarnya," jawabnya, disusul helaan napas berat. "Ternyata bener ya kata Varo, kalau gue dulu aja bisa nakal tanpa ketahuan orang tua gue, kenapa anak gue nggak bisa? Apalagi gue nggak setiap waktu ngawasin mereka," ucapnya.

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang