16. ISI KEPALA

488 47 2
                                    

"Weh, Go! Istirahat woi! Bisa kebakaran paru-paru lo nanti kalau main terus!"

Hugo nggak menggubris, dia lebih milih buat menulikan telinga. Napasnya nyaris habis karena terus bermain tanpa henti, dia ikut beberapa babak latihan malam ini, setelah selesai dan teman-temannya beristirahat, alih-alih ikut, Hugo justru lanjut bermain passing sendiri.

Memberi pantulan pada bola berwarna biru kuning itu untuk terus melambung di udara tanpa jatuh ke tanah. Dia sedang melakukan pelampiasan emosi. Hugo nggak bisa ngamuk dengan menggulung bumi, jadi cara ini yang dia jadikan sebagai pelarian dari seluruh emosi yang bersarang di hatinya.

Sampai pada akhirnya, Hugo kehabisan napas, bola yang dia jaga tetap memantul pun menyentuh tanah diikuti Hugo yang langsung berbaring terlentang di atas lapangan.

"Dia kenapa sih?" Salah satu teman satu klub Hugo bertanya pada temannya yang lain.

"Tau. Emosi banget kayaknya, lagi ada masalah kali."

"Bang Ryo nggak di sini sih, kalau ada Bang Ryo udah main passing sama Bang Ryo, dia."

Kemudian salah satu dari mereka beranjak seraya membawa sebuah botol air mineral dan menghampiri Hugo yang berbaring di lapangan dengan napas terengah-engah.

"Kenapa sih, remaja? Berat amat keknya beban hidup lo, udah kayak nanggung utang negara aja," ucap teman Hugo yang mendekat, duduk di dekat Hugo berbaring seraya meletakkan air mineral yang dia bawa.

Hugo pun bangkit dari posisinya. "Kaga ada. Lagi pengen aja, btw buat gue?" tanya Hugo, dibalas anggukan oleh temannya.

"Yaelah. Bubar ya cabangnya?" ucap teman Hugo berkelakar.

Menelan air di dalam mulutnya, Hugo kemudian tersenyum miring. "Kaga bakal itu mah," jawabnya dengan percaya diri.

"Buju buset." Si cowok yang duduk di sebelah Hugo itu tertawa renyah, beberapa saat kemudian dia berceletuk, "Gue denger-denger bakal ada turnamen voli umum nanti, kalau iya. Lo mau ikut kaga?"

Hugo menoleh dengan raut wajah berseri-seri saat mendengar kata "turnamen voli" disebut. "Pake nanya? Mau lah! Gue maju paling depan! Emang kapan?"

"Udah ketebak sih. Gue yang nggak ikut nanti. Belum tau juga pastinya kapan, nanti juga diinfoin sama Bang Ryo."

"Lah? Kenapa lo nggak ikut?"

"Gapapa sih. Gue sekarang ikut latihan mingguan aja, kalau turnamen 'kan tiap malem pasti latihan, gue nggak bisa, nyokap gue lagi sakit soalnya, masa tiap malem harus gue tinggal latihan?"

Hugo mengangguk paham. "Belum sampe turnamen juga pasti sembuh," balasnya.

"Gue berharap begitu sih, walaupun mustahil."

"Lah? Kok lo malah mikir mustahil sih? Emang nyokap lo sakit apa?" tanya Hugo, yang sebelumnya menduga jika ibu dari temannya itu sedang sakit biasa.

"Kanker, dan harus rutin kemo."

Tapi ketika mendengar jawaban itu, Hugo langsung terdiam sebab terkejut, dia merasa bersalah karena sudah bertanya. "Sorry ... gue nggak tau," ucapnya.

"Santai aja," balas teman Hugo merasa nggak masalah.

"Lo ikut latihan begini kaga masalah emang?" tanya Hugo menatap temannya dengan seksama.

"Gapapa. Nyokap tau, kalau cuma ini yang bisa jadi hiburan buat gue. Rasanya, tiap hari tidur gue nggak pernah nyenyak, Go, gue kepikiran terus cerita orang-orang soal kebanyakan penderita kanker yang nggak selamat. Gue belum bisa bikin nyokap bangga, gue nggak siap buat kehilangan dia," ujar teman Hugo, harapan yang begitu dalam tergambar jelas pada ekspresinya.

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang