Nada dering ponsel terdengar berulang, menggema di seluruh kamar bernuansa putih. Kamar itu masih gelap gulita, karena si empunya masih menelungkup terlelap bergelung selimut. Matahari belum terbit sempurna saat kelopak mata gadis yang terbaring di atas ranjang besar itu bergerak-gerak.
"Emh ...."
Zoya berusaha menggeliat, tetapi rasa sakit segera menjalar di belakang tubuhnya. Gerakan gadis itu terhenti. Dibukanya kelopak mata yang terasa berat itu perlahan, ia menghembuskan napasnya pelan berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya.
Dering ponsel itu kembali terdengar entah untuk ke berapa kali. Mau tak mau Zoya merangkak malas meraih tas yang tergelak tak jauh di kakinya. Gadis itu meraba-raba ke dalam tas dengan mata setengah terbuka lalu menjawab panggilan.
"Apa?" tanya Zoya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Baru bangun?" tanya Anya di seberang sana.
Zoya mengucek matanya pelan, ia melihat ke arah jam dinding. Gadis itu mendengus kesal.
"Setengah enam Anya, gak salah?" protes Zoya.
"Kamu gak apa-apa?"
Zoya termenung sejenak, ia tersenyum tipis. Setidaknya masih ada orang yang mengkhawatirkan dirinya. Anya memang seperhatian itu pada kedua sahabatnya. Meski Zoya tidak pernah cerita detail tentang kehidupannya, akan tetapi kebersamaan yang sudah cukup lama membuat Anya mengerti bagaimana sifat Renata. Anya tidak bisa tidur semalaman. Ia sudah mencoba menanyakan keadaan Zoya lewat pesan. Namun, tidak mendapat balasan.
"Do you have any plan today?"
"Aku mau bimbingan ke kampus, kenapa? Mau ke kosan?"
"Gak tahu. Nanti aku telpon kalau jadi mampir," jawab Zoya.
"Yaudah, jangan lupa janjimu sama Bu Angeline."
"I know." Zoya menutup sambungan panggilan.
Perlahan Zoya merebahkan kembali tubuhnya, rasa kantuk masih mendominasi. Semalam setelah adiknya pergi Zoya tak langsung tertidur. Ia menangis merasakan sakit di bagian belakang tubuhnya.
Satu sisi Zoya sedih karena Renata sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan dan membela diri. Sisi lain, yang paling menyakitkan adalah menyadari bahwa ia teramat sangat kesepian. Berharap ada seseorang yang memeluk atau sekedar menemaninya menangis rasanya tidak mungkin. Sungguh situasi yang sangat ia benci.
Ah, rumah megah yang Zoya tempati hanyalah cangkang bagi daging yang sudah teramat busuk di dalamnya. Sungguh, ini adalah hubungan keluarga yang paling aneh. Ibu yang abusive, ayah yang selalu berada di luar rumah dan adik yang ... entahlah.
Tidak ada kata yang benar-benar bisa menggambarkan bagaimana hubungan Zoya dan Rachel. Mereka terlalu acuh, tidak. Lebih tepatnya Zoya yang selalu menghindar dan tak mau tahu tentang adiknya.
Merasa tak kunjung terlelap, Zoya beranjak menuju kamar mandi. Ia bergerak perlahan menahan nyeri lalu membersihkan diri. Setelah selesai ia memakai kemeja oversize dan celana jeans. Rambutnya yang panjang ia ikat asal memakai jedai.
Zoya memakai make up tipis-tipis seraya menertawakan wajahnya yang sembab di dalam hati. Entah berapa lama ia menangis semalam, menggigit sarung bantal agar suranya tidak terdengar oleh orang lain. Meski ia sangsi hal itu berhasil, karena kamarnya bersebelahan tepat dengan kamar sang adik.
Gadis itu mengambil beberapa berkas yang sebelumnya sudah ia siapkan ke dalam tas yang biasa ia pakai untuk kuliah. Sebenarnya ia malas pergi hari ini. Tubuhnya terasa remuk, tetapi tidak mungkin ia membatalkan janji setelah susah payah mengatur jadwal dengan Bu Angeline.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...