25 -

30 5 2
                                    

Kediaman Erlangga begitu besar. Terdapat banyak kamar di sana. Kamar utama ditempati oleh Dirga, lalu Arjuna, Angeline juga Ghidan. 

Setengah hari di sana Zoya belum merasa nyaman. Perasaan asing dan kesepian yang tidak bisa dijelaskan begitu menghantam. Apa karena ia tidak merasa ini rumahnya? 

Dalam hati Zoya menangis pilu, menyadari ternyata selama ini ia benar-benar tidak mempunyai tempat untuk pulang. Arthur? 

Ah, hampir saja Zoya lupa ada orang benar-benar mencintainya secara tulus, entah sedih atau bahagia. Mengingat Arthur pun pernah melamarnya dan berjanji akan membawanya pergi dari istana emas keluarga Mahendra. 

Di sana, Zoya menempati salah satu kamar di lantai dua. Arjuna merawatnya dengan baik. Hari ini dia sengaja tidak pergi ke kantornya demi menemani Zoya. Namun, meski demikian tak ada satu patah kata pun yang diucapkan Zoya. 

“Sayang, mulai besok akan ada seorang dokter khusus untuk memeriksa keadaanmu. Luka di tanganmu biar Ayah sendiri yang rawat.” Arjuna mencoba mengajak bicara putrinya di malam beberapa saat sebelum tidur. 

“Mau tidur ditemani Angeline?” tawar Arjuna yang sudah mengerti kondisi mental Zoya. 

Tak ada jawaban. Zoya merebah, menghadap dan menatap kosong wajah Arjuna lalu matanya terpejam. Pria itu tersenyum dan kembali memposisikan duduknya. Membelai kepala Zoya sampai gadis itu benar-benar tidur nyenyak. 

***

Dini hari Ghidan berjalan sedikit sempoyongan memasuki rumahnya. Saat tiba di lantai dua dan hendak menuju kamarnya ia menoleh pada kamar yang lampunya menyala terang. 

Pemuda itu mengerutkan kening, berita kepulangan Christine sudah ia dengar sebelumnya. Bahkan drama tentang perubahan namanya menjadi Zoya sudah ia ketahui di telepon dari ibunya. Hanya saja ia habiskan hari itu di luar rumah. Kesibukannya di atas panggung dan persiapannya untuk melanjutkan program magister di Australia membuat Ghidan jarang di rumah. 

Penasaran, Ghidan membuka pintu itu. “Ternyata putri yang hilang itu kau Lilly Pies,” gumam Ghidan dengan smirknya.

Zoya tidur sendirian di kamar itu. Ghidan merasa kepalanya semakin pening. Efek alkohol yang ia minum membuatnya semakin tidak karuan. 

Sekilas, Ghidan melirik perban di pergelangan tangan Zoya. Ia pun melangkah menuju sofa, merebahkan diri dan terlelap begitu saja lengkap dengan memakai kostum manggungnya. 

***

“Ghidan!” 

“Ghidan!”

Ghidan memegang kepalanya yang masih pusing. Telinganya berdengung mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Perlahan matanya terbuka, pandangannya sedikit berputar. Pria itu mengerang pelan dan beranjak duduk. 

Didapatinya Arjuna yang berdiri bersidekap dengan wajah memerah. “Oh, Paman.” Ghidan menggeliat tanpa merasa bersalah. 

“Ngapain kamu di sini? Kamu mabuk lagi lalu salah masuk kamar, begitu? Astaga! Mau sampai kapan hidupmu begini terus, Ghi?” omel Arjuna. 

“Aku tidak salah kamar, aku sengaja menumpang.” 

“Apa maksudmu?” Arjuna terperanjat. 

“Tidak ada maksud apa-apa. Hanya ingin melihat sepupuku yang hilang. Bye, Lilly Pies!” Ghidan beranjak dan melambaikan tangannya pada Zoya yang sejak tadi hanya memperhatikan. 

Mulai hari itu seorang psikiater datang memeriksa Zoya. Awalnya seminggu sekali, lalu berubah menjadi satu bulan sekali. Seiring berjalannya waktu, kini Zoya sudah bisa berinteraksi dengan orang-orang di rumah itu. 

Selama masa pemulihan Ghidan banyak membantu Zoya. Bahkan sanggup membuat Arthur cemburu, karena Ghidan hafal betul jadwal minum obat Zoya. 

Zoya sendiri hanya acuh, tak begitu memperdulikan Ghidan meski pemuda itu sangat baik padanya. Mungkin memang seharusnya seperti itu karena mereka saudara. 

Pagi itu di taman belakang Zoya tengah duduk melamun memandangi kolam renang. Tiba-tiba segelas teh manis hangat tersodor di depannya. Siapa lagi kalau bukan Ghidan yang memberinya. 

“Terima kasih,” ucap Zoya. 

“Setelah berbulan-bulan kamu baru berterima kasih padaku? Luar biasa!” 

Zoya tersenyum kecut dan menyesap gelas tehnya. Tiba-tiba pikirannya terganggu mengingat Arthur sangat cemburu pada Ghidan. 

“Kenapa kamu baik padaku? Kamu tahu sendiri kalau dokter Arthur tidak suka padamu.” Zoya memulai pembicaraan. 

“Entahlah, melihat bekas luka di tanganmu membuatku merasa takut kamu akan melakukan hal yang sama,” jawab Ghidan jujur. 

“Aku sudah mengetahui semuanya Zoya. Ibuku sudah cerita meski tidak mendetail. Semua orang di rumah ini juga tahu kamu mengidap depresi karena perlakuan ibumu dan rasa kecewa atas semua yang terjadi.” 

“Dengar Zoya, jangan melakukan tindakan bodoh dengan membunuh dirimu sendiri. Mungkin sesaat setelah kamu tiada orang-orang akan bersedih dan menyesal, tetapi selanjutnya mereka akan melanjutkan hidup seperti biasa. Semua yang kamu lakukan hanya sia-sia.” Ghidan menatap lurus ke depan membiarkan Zoya memperhatikan wajah lembutnya. 

Di rumah, tanpa kostum panggung Ghidan terlihat lebih kalem. Memakai kaos oversize, celana training dan kacamata. Sungguh kontras dengan outfit yang ia pakai jika keluar rumah. Ghidan tidak pernah memakai kacamata saat keluar rumah. 

“Jika kamu sudah tahu semua tentangku, aku harus apa sekarang?” tanya Zoya bingung dengan pikirannya sendiri. 

“Temui ayahmu dan minta penjelasannya.” 

“Ayah Juna?” Zoya semakin bingung. 

“Saksi hidup ibumu Lilly Pies, Pak Adhiyaksa.” 

“Tapi, aku tidak bisa. Aku takut Papa memintaku pulang. Masuk ke rumah mama sama saja kembali ke neraka.” Zoya menunduk dan berbicara lirih. 

“Ayo.” Ghidan beranjak dan mengulurkan tangannya pada Zoya. 

“Tidak perlu takut, ini weekday. Papamu pasti ada di kantor.” Ghidan menarik lembut pergelangan tangan Zoya dan segera pergi dari tempat itu. 

Namun, baru turun dari teras rumah. Sebuah mobil berhenti tepat di sebelah Ghidan dan Zoya. Arthur membuka kaca jendela dan melirik bagaimana Ghidan menggenggam lengan Zoya. Refleks Zoya menepisnya. 

“Mau ke mana kalian?” tanya Arthur. 

***
Ada yang kepergok gais....
Cemburunya gimana, ya?

 Cemburunya gimana, ya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MELLIFLUOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang