Hari masih terlalu pagi bagi seorang karyawan perusahaan untuk duduk menghadap meja kerja dengan wajah yang ditekuk masam. Bianca Anatasya, perempuan yang baru tiga bulan mendapatkan promosi dan naik jabatan menjadi Manajer Pemasaran menyisir kedua belah sisi rambutnya menggunakan sela-sela jari.
Moodnya sedang tidak baik sekarang. Pertemuannya dengan Arthur dan bagaimana pria itu membawa Zoya pergi dari hadapannya begitu mengganggu pikiran. Kenangan-kenangan bersama Arthur kembali membayangi dirinya. Membuat Bianca tidak bisa berkonsentrasi semalaman.
Padahal pagi ini Bianca sudah memiliki jadwal temu dengan Arjuna. Setelah berkali-kali strategi iklan dan konsep perilisan produk baru Erlangga ditolak mentah-mentah oleh sang General Manager dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal. Akhirnya ia mempunyai kesempatan berdiskusi langsung dengan Arjuna, itu pun setelah susah payah ia mendesak dan berdebat dengan atasannya.
Project ini adalah tugas pertama Bianca. Dia benar-benar berambisi dan berharap penuh produk baru tersebut rilis menggunakan konsep serta ide darinya dan tim. Bianca benar-benar bekerja keras, ingin membuktikan bahwa dirinya layak berada di posisinya saat ini.
Perempuan itu menyeruput segelas kopi yang masih utuh di atas meja. Mencoba kembali fokus pada pekerjaan, meski rasa penasaran tentang hubungan Arthur dan Zoya begitu bercokol di hatinya.
Di tempat lain tepatnya di lantai tiga. Zoya tengah sibuk dengan panggilan yang tersambung di ponselnya. Atas saran dari Mila akhirnya ia menghubungi rumah makan langganan Erlangga. Zoya memesan nasi box dan camilan untuk seluruh reqruitmen staff.
“Bisa diantar langsung ke kantor Pak?” Zoya menggerakan tangannya pada sebuah mouse setelah mengetikkan sesuatu di komputer yang biasa Mila gunakan untuk membuat laporan. Sebuak suara khas printer menderu di belakangnya.
“Baik terima kasih Pak.” Zoya memutus sambungan panggilan lalu meraih kertas yang baru saja keluar dari mesin cetak lalu memasukkannya ke dalam sebuah map.
Dengan cekatan Zoya bergegas pergi dari ruangan itu menuju lantai dua belas. Tepat setelah pintu lift terbuka matanya tertuju pada Michelle yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.
“Mbak Michelle,” sapa Zoya saat jarak mereka sudah cukup dekat.
“Zoya ya? Ada apa?”
“Ini, RAB yang diminta Pak Arjuna. Oh ya Mbak, menu makan siang Pak Arjuna biasanya apa?” tanya Zoya.
“Lebih baik kamu tanyakan saja langsung.” Michelle menggerakan iris matanya. Membuat Zoya menoleh ke belakang. Benar saja, pria dengan setelan jas berwarna navy itu tengah berjalan seraya tersenyum ke arahnya.
“Selamat pagi Zoya.” Arjuna menyerahkan tas kerjanya pada gadis itu. Membuat Michelle dan Zoya saling berpandangan heran.
“Biar saya saja Pak.” Michel berusaha meraih tas Arjuna, tetapi pria itu mendelik dengan tatapan tidak suka.
Ragu-ragu Zoya menerima tas tersebut. Arjuna mengangguk lalu berjalan kembali masuk ke ruangannya. Terpaksa Zoya mengikuti di belakang. Pria itu lantas duduk pada kursi kebesarannya dan terlihat menyibukkan diri. Menyalakan laptop dan komputernya.
Zoya yang bingung dengan apa yang harus ia lakukan menyimpan tas milik Arjuna di atas sofa. Mempraktekkan apa yang biasa Bima lakukan saat bersama ayahnya.
“Kamu sudah sarapan?”
“Sudah Pak,” jawab Zoya.
“Tolong buatkan saya minum, Zo. Dua sendok kopi dengan setengah sendok gula.” Arjuna menunjuk dispenser yang berada di sudut ruangan. Beberapa gelas, sendok kecil dan toples tersedia di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...