Merogoh ponsel, Arthur melihat jam di layar pintar tersebut. Waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Mendesau panjang, ia memijat keningnya pelan. Ingin mengistirahatkan diri karena tubuhnya terasa lelah.
“Dokter Arthur!” Tiba-tiba seorang perawat muncul dan berteriak pada Arthur yang sedang berjalan di koridor rumah sakit setelah menangani pasien urgent di ruang rawat inap.
Langkah kaki Arthur terjeda seketika. Ia mendongak, menatap siapa perawat yang tiba-tiba datang menghampirinya.
“Pacar Anda! Zoya berada di ruang IGD!”
“Apa?” Arthur terdiam, ia mendadak kebingungan dengan informasi tersebut.
“Zoya mendapatkan penanganan. Dokter Zay sedang menanganinya, cepat ke sana!”
Segera Arthur memasukkan stetoskop ke jas kerja. Keduanya lantas memacu langkah cepat menuju IGD. Walau masih bingung tak mengerti apa yang terjadi, dan benarkah Zoya yang dimaksud adalah Zoya kekasihnya, tetapi Arthur tetap mengikuti langkah perawat tersebut.
Tanpa mereka sadari seseorang yang sejak tadi menguping mereka, akhirnya melangkahkan kaki mengikuti keduanya secara diam-diam.
Dapat Arthur lihat, Adhiyaksa, Renata dan Rachel menunggu di depan ruang IGD. Tanpa pikir panjang, segera Arthur masuk ke tempat di mana Zoya ditangani. Arthur terbelalak melihat Zoya tak sadarkan diri di atas ranjang.
“Astaga Zoya, dia kenapa Dok?” tanya Arthur pada Zay. Suaranya bergetar, jelas akan kepanikan yang melanda dirinya.
“Sepertinya dia memotong nadi besar di tangannya, sekarang dia kehilangan banyak darah. Keadaannya kritis, dia memerlukan transfusi secepatnya sebelum kejadian tak diinginkan terjadi!” beritahu dokter Zay. Pria itu mengalungkan stetoskop di leher, memutar tubuh dan meninggalkan Arthur di sana.
Arthur mengusap wajah, ia menilik wajah pucat Zoya. Terlihat kantung mata Zoya membengkak. Seketika pertanyaan demi pertanyaan bergumul di otak Arthur. “Apa yang terjadi denganmu?” gumam Arthur lirih.
Diusapnya sejenak pucuk kepala Zoya. Dengan debar hati yang ia miliki untuk Zoya, Arthur menundukkan kepala, mencium singkat kening gadis itu.
Setelahnya Arthur turut keluar. Begitu ia berada di ambang pintu, Arthur bisa melihat Adhiyaksa yang sedang menghampiri Zay dengan raut wajah cemas.
“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Adhiyaksa panik. Wajahnya pucat pasi.
“Puteri Anda selamat. Kami telah menutup dan menjahit robekan di tangannya. Namun, puteri Anda kehilangan banyak darah dan kami membutuhkan donor karena golongan darah puteri Anda cukup langka. Kami tidak memiliki golongan darah B rhesus negatif karena kebetulan stok di bank darah kami sedang habis. Silakan Anda mengikuti kepala perawat untuk memeriksa kondisi dan stamina Anda untuk menjadi donor,” jelas dokter Zay setenang mungkin.
Hening sejenak. Menyisakan ketegangan yang tercipta semakin kentara di wajah Adhiyaksa dan Renata. Sepasang suami istri itu saling tatap. Wajah keduanya sama-sama pucat, ketakutan.
Lebih dulu Adhyaksa memutuskan kontak tersebut. Kembali memusatkan pandangan pada dokter Zay, “Apakah dari bank darah kota juga tidak ada stoknya?”
Dengan penuh rasa bersalah, Zay menggelengkan kepalanya pelan. “Pihak rumah sakit sudah menghubungi bank darah kota. Di sana juga sedang kehabisan stok darah B negatif. Mohon maaf sekali, Pak.”
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Pada Tuhan, Adhyaksa bertanya dalam hati. Memohon pertolongan untuk puterinya.
Adhyaksa tidak bisa mendonorkan darahnya untuk Zoya. Sementara ia pun tahu golongan darah Renata dan Rachel.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...