Di kota besar entah milik pemerintah atau daerah, rumah sakit selalu nampak ramai. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang berdiri di sebelah mobil putih dan menekan tombol lock di kunci yang ia pegang. Ia memperhatikan penampilannya di jendela mobil. Rambut yang tadinya ia ikat, kini dibiarkan tergerai begitu saja.
Zoya terlihat bingung saat menyusuri parkiran. Pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Gadis itu baru selesai seminar proposal satu minggu yang lalu. Ini adalah bimbingan skripsi pertamanya dengan Angeline, tetapi Zoya sudah dikejutkan dengan pemilihan tempat yang tidak biasa.
"Bu Angeline gak salah nih?" batin Zoya seraya melihat ke sekitar.
Langkah Zoya terhenti saat menapaki teras lobi yang luas. Ia sedikit meringis ketika kemeja yang ia pakai tak sengaja menggesek memar di punggungnya. Gadis itu menghela napas panjang perlahan.
Seorang satpam tersenyum ke arahnya. "Ada yang bisa saya bantu Mba?" tanya satpam. Mungkin kebingungan terlalu nampak di wajah Zoya.
"Ruang Anyelir di mana ya Pak?"
"VVIP ya? Mba belok kanan, ikutin lorong, nyebrang ke gedung sebelah, belok lagi ke kanan nanti ada lift. Mba naik aja ke lantai enam. Nanti Mba bisa tanyakan letak kamarnya ke petugas yang ada di sana," jelas satpam.
"Terima kasih Pak."
Dengan langkah pasti Zoya mengikuti arahan yang diberikan satpam. Namun, saat menyusuri lorong yang sepertinya tak berujung hatinya mulai ragu. Ia celingukan karena lorong tersebut cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang berpapasan dengannya dari arah berlawanan.
Mata Zoya sedikit berbinar melihat seorang pria yang berjalan searah dengannya yang tiba-tiba muncul dari belokan. Dari jas putihnya bisa Zoya pastikan bahwa pria itu seorang dokter. Kening Zoya mengkerut saat mengamati pria itu berjalan seraya menunduk.
Gadis itu menganggukan kepala mengingat ia melihat sekilas pria tersebut berjalan dengan map terbuka sebelumnya. Cepat-cepat Zoya menyusul, ia harus bertanya dari pada kebingungan dan tersesat.
"Permisi Dok," sapa Zoya. Langkahnya terhenti seiring dengan dokter tersebut yang tiba-tiba diam.
"Dok, maaf numpang tanya. Ruang Anyelir di sebelah mana ya?" tanya Zoya tanpa ragu.
Sepersekian detik pria itu mematung lalu berbalik. Kornea mata Zoya melebar sejenak saat melihat wajah dokter tersebut lalu membulat. Menanti jawaban yang akan dilontarkan dokter muda itu.
Tak sengaja pandangan mereka bersirobok. Zoya mulai memicingkan matanya karena sang dokter hanya membisu. Zoya melirik ke bawah pada name tag bertuliskan 'dr. Arthur Pramudya' di bagian dada.
Zoya kembali menengadah menatap wajah pria di depannya. Ia mulai merasa aneh karena lawan bicaranya tak kunjung bersuara dan menatap sedemikian rupa. Dengan kening mengkerut Zoya kembali menegur, "Dok."
"Ah, iya?" Arthur berdeham dan menutup map yang ia pegang.
"Ruangan Anyelir–"
"Oh, mau ke Anyelir. Ikuti saya." Arthur berbalik lalu kembali berjalan.
Gadis itu mengedikkan bahunya lalu mengikuti Arthur di belakang. Ternyata tak jauh dari tempat ia berdiri tadi ada sebuah belokan dan di sana terdapat tiga pintu lift yang berjejer.
Saat Zoya hendak menekan tombol lift, ia kalah cepat oleh Arthur. Pria itu sudah menekan tombol tersebut lebih dulu. Monitor angka berwarna merah bergerak dalah hitungan mundur pertanda lift sedang turun.
Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Keduanya pun masuk dan berdiri bersebelahan. Zoya membiarkan Arthur menekan tombol angka enam, lantai yang akan mereka tuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...