“Dokter?” Zoya terperanjat kaget.
“Saya ke sini untuk menjengukmu, tapi sepertinya kamu akan pergi.” Arthur melirik sinis pada Ghidan.
“Saya … mau ke kantor papa Adhiyaksa, Dok.”
“Ck! Apa kalian benar-benar berpacaran? panggilan apa itu? Saya-kamu, dokter? Serius kamu manggil pacarmu itu dokter? Aneh sekali.” Ghidan membuka kacamata dan menyelipkan di kaos yang ia pakai.
“Ghidan!” tegur Zoya.
“Baru kali ini kamu memanggil namaku Lilly Pies, pergilah! Apa kamu tidak lihat ada kepiting rebus di sini! Pacarmu itu sepertinya cemburu,” titah Ghidan.
Tanpa kata Arthur keluar dan membukakan pintu mobilnya untuk Zoya. Cepat-cepat Zoya masuk lalu memasang sabuk pengaman. Tanpa melirik kepada Ghidan, Zoya membiarkan Arthur membawanya keluar dari kediaman Erlangga.
“Sepupumu hari ini kelihatan lebih tampan. Dia bergaya untukmu?”
“Tidak. Biasanya memang seperti itu,” jawab Zoya asal.
“Apa pekerjaannya?”
“Eum … Ghidan baru lulus kuliah sama sepertiku.”
“Jadi saya masih jauh lebih baik darinya?”
“Ha?” Zoya semakin sulit mencerna ke mana arah pembicaraan Arthur.
"Berapa usia sepupumu? Masih masa pertumbuhan? Tidak dewasa. Mengganti nama orang seenaknya," cibir Arthur.
“Seberapa akrab kamu dengan dia?” lanjut Arthur.
“Saya dengan Ghidan tidak akrab. Saya juga tidak tahu kenapa dia seperti itu, lagian dia hanya sepupu. Kenapa? Abaikan saja. Mungkin memang habitnya seperti itu. Dokter cemburu sama Ghidan?” Zoya mencoba menjelaskan dengan pelan seraya bergelayut manja di lengan Arthur.
Arthur tak menjawab, ia lebih memilih mempercepat laju mobilnya hingga Zoya mengeratkan pegangannya pada lengan Arthur. “Dok! Pelanin mobilnya, kalau cemburu bilang aja!” Zoya tertawa lepas.
Setengah jam perjalanan akhirnya Arthur dan Zoya tiba di perusahaan milik papanya. Belum keluar dari mobil tubuh Zoya sudah mengeluarkan keringat dingin.
“Kamu yakin, Sayang?” Arthur yang sudah tahu alasan insiden malam itu mencoba meyakinkan kekasihnya dengan menggenggam tangan kanan Zoya.
“Ya, Dok. Sudah saatnya saya tahu semuanya.”
“Saya temani masuk.” Arthur menatap Zoya penuh arti. Bahkan, bukan hanya itu. Ia juga ingin menanyakan perihal mengapa Devina bisa mengenal Renata.
Sepanjang langkah menelusuri koridor dan menaiki lift, antara Zoya dan Arthur hanya diam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di depan ruangan Adhiyaksa mereka menunggu Bima melaporkan kedatangan mereka.
“Batalkan meeting hari ini, Bim.” Adhiyaksa beranjak dari duduknya untuk menyambut sang puteri. Dipeluknya Zoya dengan penuh kasih sayang dan kerinduan. Memang mereka tidak bertemu berbulan-bulan, karena psikiater menyarankan agar Zoya tidak bertemu keluarga Mahendra dulu.
“Zoya sayang, apa kabar? Papa rindu sekali padamu.” Adhiyaksa mencium pucuk kepala Zoya.
“Baik … Pa….”
“Arthur, terima kasih sudah mengantar Zoya.” Adhiyaksa merentangkan tangannya, mempersilahkan Zoya dan Arthur agar duduk di sofa.
“Mau minum apa?” tawar Adhiyaksa.
“Tidak usah basa-basi, Pa. Aku ingin tahu semuanya antara Aku, Ayah Juna, dan Mama Renata,” jawab Zoya dingin.
Adhiyaksa menghela napas panjang, ia ingat betul bagaimana Renata meminta Zoya menjauhi Arthur. Diliriknya Arthur sekilas lalu ia berkata. “Baiklah, Nak. Mungkin inilah saat yang tepat dan sepertinya … ini ada kaitannya denganmu Arthur.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...