Malam itu Zoya menghabiskan sepanjang waktu dengan menangis. Ia menekan suaranya pada bantal. Tidak ada jawaban yang memuaskan ia dapat dari Adhiyaksa. Ayahnya itu hanya menemani sampai ia tertidur pulas.
Entah pukul berapa saat semua orang terlelap Zoya terbangun. Tenggorokannya begitu kering. Terpaksa Zoya turun ke dapur untuk minum. Namun, saat akan kembali ke kamar Zoya mendapati ruang kerja ayahnya terbuka. Lampu masih menyala di sana.
Penasaran, Zoya melangkah masuk. Ia tak menemukan siapapun di dalam sana. Hanya ada kertas-kertas dokumen bertebaran di atas meja kerja. Memenuhi rasa penasarannya, Zoya mendekati meja dan mengambil salah satu kertas. Betapa terkejutnya Zoya, kertas itu adalah dokumen pengajuan perubahan nama pada instansi pemerintah.
Nama yang tertera di sana adalah Christine Costa Erlangga yang diubah menjadi Zoya Aerilyn Mahendra. Sontak Zoya memeriksa dokumen lain. Ada akta kelahiran dan kartu keluarga yang sudah usang. Anehnya nama ayah yang tertera bukanlah Adhiyaksa, tetapi Arjuna Erlangga. Di dokumen itu tertera banyak sekali nama Christine Costa Erlangga.
“Aku mengerti, aku bukanlah Zoya. Aku Christine. Itulah sebabnya aku diperlakukan berbeda,” ucap Zoya lirih seraya luruh ke lantai.
Air mata kembali berderai, bahkan kali ini lebih hebat. Zoya berteriak histeris meluapkan emosinya. Terdengar langkah kaki memburu ke ruang kerja tetapi Zoya telah dikuasi perasaan asing yang membuatnya merasa hampa. Bahkan jeritan dan teriakan dari mulutnya tidak mampu mengisi ruang kosong yang sepi di dalam hatinya.
“Zoyaa!” teriak Adhiyaksa, dan Renata muncul di belakangnya dengan wajah panik. Saat mereka melihat dokumen yang bertebaran, seketika rasa terkejut menguasai hati ketika menyadari fakta yang ditemukan Zoya.
“Jadi ini alasan Mama membenciku? Aku bukan anak kandung Papa?” teriak Zoya membelah malam. Wajah Renata memucat sedangkan Adhiyaksa maju untuk menenangkan anak perempuannya.
Dipeluknya Zoya erat-erat, berusaha menyadarkan gadis itu betapa ia mencintainya sebagai buah hati. “Bukan begitu, Sayang ....”
Namun, Zoya memberontak dan menepis kuat pelukan Adhiyaksa membuat pria paruh baya itu menatap sedih ke puterinya dan tidak berani memeluk lagi ketika melihat kepahitan di wajah pias Zoya.
“Lalu apa Mama benar-benar ibu kandungku? Kenapa Mama selalu jahat padaku? Apa Mama tidak pernah melihat aku lelah dipukuli? Dibentak dan dihakimi? Aku benci kalian semua!” Zoya menjauhkan diri lalu membuka laci meja kerja Adhiyaksa. Tangan kurusnya meraih gunting dan memegang secara serampangan.
“Zoya! Kamu mau apa?!” Adhiyaksa mulai panik kala Zoya yang matanya tidak fokus memegang gunting yang terbuka lebar dengan satu tangan. Renata terisak di belakang suaminya dan jatuh ke lantai sambil menutup mukanya dengan dua tangan.
“Zoya sayang. Letakkan gunting itu, hm? Papa adalah papamu, Sayang. Papa adalah lelaki pertama yang memeluk dan memanggil nama di telingamu, Nak. Papa adalah papamu, Nak. Kamu puteri sulung Papa yang berharga, Sayang.” Adhiyaksa maju perlahan untuk mendekati puterinya yang gemetar dan tampak shock.
Zoya tertawa miris, matanya memejam dan air mengalir deras diantara bulu matanya yang lentik. Adhiyaksa melihat Zoya memejamkan mata, bertindak maju. Sayang, gadis itu telah membuka mata demikian cepat dan kali ini sinar matanya susah dimengerti.
“Tak ada yang peduli padaku, aku cuma anak pungut. Untuk apa aku hidup jika yang kuterima hanya kepahitan? Sampai kapan aku harus memaklumi sikap Mama? Sampai aku mati? Sampai Mama mati? Aku tidak tahan lagi, kalau begitu biar aku yang mati duluan!”
Zoya meraung murka dan tangan kanannya yang memegang gunting bergerak terlalu cepat untuk dihentikan Adhiyaksa. Ia menyobek nadi besar di pergelangan tangan kiri dan seketika darah menyembur deras.
“Zoyaaa!!” Renata membeliak dan berteriak histeris seiring tubuh Zoya yang ambruk ke lantai.
Adhiyaksa merasakan jantungnya berhenti berdetak saat cairan merah menyembur indah dari pergelangan tangan puterinya. Sedetik kemudian ia berlari mau, meraup tubuh Zoya yang lemas dan menangkap tangan kirinya yang memiliki luka terbuka.
Gemetar, tangan besar Adhyaksa menggenggam pergelangan itu dan meremasnya sekuat ia bisa. Luka Zoya harus tertutup. Meski itu berarti dia harus mengorbankan tangan kanan yang meremas pergelangan itu. Luka Zoya harus tertutup.
Cairan merah yang hangat mengalir keluar melalui sela-sela jari Adhyaksa. Pria dewasa itu tergugu menangis sedih menyadari usahanya tidak berguna. Ia meraung marah dan berdiri dalam satu gerakan membawa tubuh Zoya dalam pelukannya.
Gunting berlumuran darah terjatuh dari tangan kanan Zoya saat Adhiyaksa berlari sambil menggendong puterinya. Tangan kanan pria itu tak sedetik pun melepaskan pergelangan kiri Zoya yang terluka.
“Racheel!! Antar Papa!!” suara Adhiyaksa demikian menggelegar hingga ia cukup satu kali bersuara, puteri keduanya langsung muncul dari kamar dengan wajah campuran mengantuk dan terkejut. Melihat papanya menggendong Zoya dengan jejak cairan merah menetes sepanjang langkahnya, Rachel membelalak kehilangan rasa kantuk dan segera melecut kakinya untuk berlari mengejar sang papa. Tangannya dengan tangkas meraih kunci mobil di meja samping televisi lalu lebih lincah melesat mendahului sang papa sambil menyalakan kunci otomatis.
Lampu mobil berkedip dan terdengar ceklikan kunci. Rachel yang sudah tiba lebih dulu, membuka pintu penumpang belakang dan Adhyaksa masuk hati-hati agar tidak lebih menyakiti sang dara yang terluka.
Rachel sudah berurai air mata saat menahan pintu untuk papa dan kakaknya. Selepas itu, Rachel segera menghambur ke ruang pengemudi dan memasang sabuk pengaman dengan tangan gemetar.
Sedetik sebelum ia menyalakan mobil, pintu di samping Rachel terbuka dan renata masuk. Ibunda Zoya itu berwajah sama pucat seperti puterinya yang kehilangan banyak darah. Mata Renata menyorotkan kesedihan dan penyesalan. “Aku ikut,” bisiknya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban dari Adhyaksa maupun Rachel. Puteri kedua renata segera menginjak gas dan melepas kopling. Mobil melaju di tengah malam menuju rumah sakit terdekat.
Selama dalam perjalanan, Renata terus menoleh kebelakang. Rachel berusaha teguh terus menatap ke depan dengan air mata bercucuran. Di kursi belakang, Adhiyaksa memeluk tubuh lemas Zoya dan terus membisikkan kalimat sayang di telinga gadis itu.
“Bangun, Zoya. Jangan pergi. Papa tidak rela. Papa mencintaimu, Zoya. Kamu anakku. Kamu anakku, Zoya. Meski bukan darahku yang mengalir di nadimu. Tapi aku papamu, Zoya. Aku yang membuatmu hidup dan sekarang aku akan menjagamu tetap hidup. Kamu anakku, Zoya!”
Sesampainya di rumah sakit, Rachel menghentikan mobil di depan IGD. Ia tidak peduli siapapun dan memarkirkan tepat di depan pintu. Sambil menangis, ia turun dari mobil dan membukakan pintu untuk papanya yang keluar susah payah sambil menggendong puteri pertama dengan tetap menggenggam erat pergelangan kiri gdis itu.
“Toloong! Tolong kakak saya! Tolong kakak saya!” Rachel yang setelah membukakan pintu mobil segera menghambur kedalam dan berteriak histeris, membuat dua orang perawat wanita dan satu perawat pria melompat.
Saat mereka melihat Adhiyaksa yang kepayahan membawa Zoya dengan noda merah tak terbilang banyaknya di celana panjang pria itu, ketiga perawat dengan sigap menangkap dan mengambil alih tubuh lemas Zoya.
Adhiyaksa terjatuh di lantai saat Rachel menangis meraung-raung mengikuti kakaknya yang dibawa pergi sampai ia perlu ditenangkan perawat lain. Renata berjalan pelan memasuki ruang IGD. Ia berhenti di sebelah Adhiyaksa yang bersimpuh di lantai.
“Anakku, mati?” tanyanya pelan dengan mata kosong.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS
ChickLit"Kamu tidak mau menurut? Apa susahnya menjauhi pacar sialanmu itu? Apa yang bisa membuatmu setuju dengan semua keputusanku? Kematianku, hah?! Anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku kasih kesempatan untuk hidup, malah jadi pembangkang!" Renata men...