15 -

89 8 4
                                    

Sepersekian detik waktu seakan melambat. Dunia sekitaran Arthur, Zoya dan Bianca bagai adegan slow motion dalan film yang memperlihatkan ekspresi wajah masing-masing tanpa satu kalimat pun yang terucap. 

Satu-satunya orang yang nampak bahagia hanyalah Bianca Anatasya. Setelah sekian tahun berlalu akhirnya ia bisa bertemu dengan sang mantan kekasih. Namun, senyuman yang terukir di bibir Bianca mendadak luntur saat menyadari perubahan rona wajah Arthur. 

Sorot manik kelam Arthur berubah tajam. Rahangnya mengetat, raut wajahnya nya mendadak dingin dan datar. Hal itu membuat langkah Bianca yang tadinya hendak menghampiri mendadak terhenti. Sungguh, Bianca menyadari bahwa Arthur tidak menyukai pertemuan yang tidak disengaja ini. 

Dalam hati Bianca merutuki dan menyesali masa lalu. Andai saja ia tidak melakukan kesalahan, tidak berselingkuh hanya karena Arthur yang terlalu sibuk mungkin saat ini ia masih bersama Arthur. 

Kesetiaan pria itu tidak perlu disangsikan lagi karena ia pernah membuktikannya sendiri. Menjalin hubungan bertahun-tahun mulai saat mereka duduk di bangku SMA, sampai akhirnya kandas saat perkuliahan mulai memasuki semester lima. 

Selama itu Arthur tidak pernah macam-macam. Dirinyalah yang terlalu bodoh, mencoba bermain-main dan berselingkuh. Mencari pelampiasan dengan alasan Arthur yang tidak menjadikannya prioritas dan berujung perpisahan yang sangat ia sesali sampai detik ini. 

Lihat, tatapan pria itu tidak lagi penuh cinta. Bahkan melihat wajahnya saja sepertinya Arthur tidak mau. Pria itu malah fokus ke arah lain, hal itu membuat Bianca menoleh. Bianca terkesiap mendapati Zoya yang berdiri tak jauh di belakangnya.

“Dokter kenal sama Mbak Bianca?” tanya Zoya. 

“Dokter? Jadi kamu beneran udah jadi dokter Ar? Selamat ya …,” ucap Bianca lirih. 

“Kamu ke sini ada perlu apa? Kebetulan aku manager marketing di sini, siapa tahu bisa bantu,” lanjut Bianca. 

Arthur menghela napas panjang. Wajahnya melembut dan kembali menatap Zoya. Hanya Zoya. 

“Zoya, ayo pulang!” ajak Arthur. 

“Oh, kamu … ke sini jemput Zoya?” tanya Bianca memastikan. 

Zoya yang mengerti Arthur tidak ingin berlama-lama segera menghampiri Bianca. “Saya duluan Mbak permi—”

Kalimat Zoya terputus karena Arthur meraih pergelangan tangannya dan menuntunya pergi dari hadapan Bianca. Meninggalkan rasa kecewa yang begitu mendalam di hati perempuan itu. 

Di parkiran Arthur membuka kunci mobilnya dari jauh lalu membukakan pintu untuk Zoya. Gadis itu mulai bisa bernapas lega karena roman muka Arthur tidak sedingin dan semenyeramkan tadi. Pria itu meraih plastik di jok belakang dan memberikan minuman favorit Zoya. 

“Wah! Makasih Dok. Kirain gak bakal jemput.” Zoya menerima cup milkshake coklat kesukaannya dengan senang hati. Apalagi sebelumnya Arthur yang menamcapkan sedotan ke minuman itu. Arthur juga memberikan camilan yang tadi ia beli di kedai. Senyum Zoya semakin merekah saat membaca tulisan ‘gluten free’ di bagian kemasan. 

“Capek?” tanya Arthur seraya menghidupkan mesin mobilnya.

“Lumayan. Dokter gak kerja?” 

“Saya shift pagi, keluar tadi setengah tiga.” Arthur kembali melajukan mobilnya. 

“Mau makan dulu?” lanjut Arthur.

“Nggak, saya makan di kosan Anya aja. Ada zoom jam setengah tujuh. Takut gak keburu kalau saya makan di luar,” jelas Zoya tanpa diminta. 

MELLIFLUOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang