20.Stay strong

725 54 9
                                    

Revan dan Rasya tengah duduk berdua di atas ranjang milik Rasya. Setelah Rasya memberitahukan tentang rahasianya pada Revan, Revan nampak hanya diam dengan pandangan kosongnya, sesekali Revan mengusap kasar airmatanya yang jatuh begitu saja. Sesak sekali rasanya dan Revan benar-benar belum bisa dan mungkin tak akan pernah bisa menerima semua kenyataan ini. Rasya pun hanya diam dengan segala pikirannya, ia tak bisa menghibur Revan karena hatinya pun jauh terasa lebih kacau di banding Revan.

"Gue mau keluar dulu." ujar Revan dengan suara lirih. Rasya hanya mengangguk lemah dan Revan pun benar-benar keluar dari kamar Rasya. Revan hanya butuh menenangkan diri dari semua kenyataan yang seakan memukul telak kewarasannya.

Revan berjalan ke arah balkon kamarnya. Ia menarik nafas dalam demi mengusir rasa sesak yang seakan menghimpit dadanya. Kenapa harus Rasya yang menderita penyakit itu? kenapa harus adiknya? bahkan Revan baru sebentar mulai menerima kehadiran Rasya dan menyayanginya, namun mengapa takdir seakan mempermainkan mereka? bagaimana Revan bisa menerima semua ini? Revan tak mau merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup ia kehilangan ayahnya yang begitu ia sayangi, Revan juga tak mau kehilangan adiknya.

"ARGGGHHH!!!" Revan berteriak sekencang mungkin, ia ingin melepaskan segala rasa sesaknya. Revan rasanya ingin marah namun ia tak tahu harus marah pada siapa. Setelahnya airmata Revan meluruh begitu saja.

"Kenap harus Rasya? kenapa harus adek gue?" racau Revan di tengah tangisnya.

Diam-diam Rasya melihat itu semua. Bagaimana Revan yang berteriak frustasi. Bagaimana Revan yang menangis pilu seperti itu. Rasya melihat semuanya. Rasya diam-diam mengikuti Revan karena merasa khawatir pada kakaknya dan ia memutuskan masuk begitu saja ke dalam kamar Revan saat mendengar kakaknya berteriak namun yang Rasya temukan kini adalah Revan yang menangis layaknya orang yang begitu frustasi. Rasya merutuki dirinya sendiri, Revan seperti itu karena dirinya. Ini baru Revan lalu bagaimana dengan reaksi Devita dan Vian saat mereka tahu. Apa reaksi mereka juga akan sama seperti Revan, sungguh Rasya tak sanggup untuk membayangkannya.

"Maafin Rasya bang, maafin Rasya udah buat abang kayak gini. Harusnya dulu Rasya emang gak pernah hadir dalam hidup abang maupun ibu dan bang Vian jika hanya untuk menorehkan kesedihan untuk kalian. Maafin Rasya."

Rasya menghapus kasar airmatanya lalu berbalik. Ia melangkahkan kakinya ke area taman, cuaca siang ini cukup gelap dan awan mendung pekat menghiasi langit di siang hari ini. Rasya duduk di kursi taman sembari mengadahkan kepalanya ke atas langit yang menurunkan hujan gerimis. Rasya membiarkan saja gerimis yang kini turun membasahi tubuhnya. Makin lama gerimis itu makin besar namun Rasya hanya diam dan tak beranjak sedikitpun dari tempatnya, tubuhnya kini basah namun Rasya tak berniat sedikitpun untuk pergi.

Rasya menangis terisak di bawah guyuran hujan. Setidaknya air hujan bisa menyamarkan airmatanya kini. Rasya lelah, bolehkah ia merasa lelah saat ini. Tak peduli tubuhnya yang menggigil kedinginan dan kepalanya yang benar-benar terasa berat, Rasya seakan sungguh tak lagi peduli dengan keadaannya.

"RASYA!!"

Rasya hanya diam saat Revan menyodorkan payung hingga tubuhnya tak lagi terkena air hujan.

"Lo ngapain sih hah!! hujan-hujanan kayak gini, lo mau mati hah!!" teriak Revan penuh emosi, Rasya hanya diam dan tak membalas ucapan Revan.

"Ayo masuk Sya!"

Rasya menatap kakaknya, bisa Revan lihat wajah Rasya yang kini berubah semakin memucat, bibirnya pun nampak bergetar karena kedinginan.

"Ayo masuk Sya! jangan kayak gini!"

"Bang... maafin aku." lirih Rasya

"Maafin aku udah buat abang sedih. Aku emang adik yang gak berguna. Harusnya aku emang gak usah datang kesini dan hadir di hidup kalian. Aku emang gak berguna." racau Rasya

Tentang RasyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang