02. Tragedy

1.1K 61 0
                                    

Rasya terbangun pukul enam pagi dan menemukan Adi tertidur di sisi ranjangnya dengan kepala yang di telungkupkan di lipatan tangannya. Kepala Rasya masih sedikit pening namun keadaannya terasa jauh lebih baik dari kemarin.

"Ayah." lrih Rasya, Adi yang mendengar suara Rasya lantas terbangun dari tidurnya.

"Sya, udah bangun, nak? mana yang sakit, nak?" tanya Adi, Rasya hanya menggeleng lemah dan menunjuk sebotol air mineral di atas nakas.

"Rasya haus."

Adi dengan cepat mengambil air dan membantu Rasya untuk minum melalui sedotan

"Ayah panggil dokter dulu ya, sayang." ucap Adi tanpa menunggu jawaban dari Rasya. Adi pergi keluar dan segera memanggil dokter, sementara Rasya hanya memijit pelan pelipisnya. Kepalanya masih terasa berdenyut nyeri dan kepalanya masih agak pusing saat ini.

Tak lama dokter mulai memeriksa Rasya dan beberapa menit setelahnya Rasya kembali tertidur karena efek obat dan ia juga merasa masih sangat lemas.

                         ****

Devita dan kedua puteranya,Vian dan Revan kini tengah menikmati sarapan tanpa kehadiran Adi tentunya yang masih berada di Bandung untuk menemani Rasya.

"Bu, emang anak itu mau tinggal disini ya? kok ibu setuju-setuju aja sih! bagaimana pun juga dia anak dari istri kedua ayah, anak dari pelakor bu." ujar Revan dengan nada tegasnya yang langsung mendapat tatapan dari sang ibu.

"Revandra, jaga omongan kamu! ibu gak pernah ngajarin kamu ngomong kasar kayak gitu. Bagaimana pun juga Rasya itu adik kamu Revan."

"Revan gak punya adik bu!! Revan cuma punya kakak, abang Vian! mau sampai kapan pun Revan gak akan mau nganggap anak itu adik Revan!!"

Revan membanting sendok yang ia pegang dan menyambar ranselnya lalu pergi dengan meninggalkan sarapannya yang masih nampak penuh. Vian yang mulai melihat perubahan ekspresi wajah sang ibu hanya bisa mengelus lembut bahu sang ibu. Ia tahu semua ini masih begitu mengecewakan untuk Revan. Berbeda dengan Alvian yang bisa bersikap lebih tenang dan dewasa, Revan itu terkadang masih sulit mengendalikan emosinya.

"Vian, memangnya salah ya, kalau nanti Rasya tinggal dirumah ini? Rasya juga anak ayah kamu. Rasya gak punya siapapun selain kita Vi." ucap Devita. Vian menggenggam lembut kedua tangan sang ibu.

"Bu, Vian sebenarnya juga masih ragu. Vian gak tau Rasya orangnya kayak gimana, tapi Vian bakal coba nerima Rasya dan sayangi Rasya meskipun nanti akan membutuhkan waktu tentunya." ucap Vian dengan nada yang lembut. Devita menatap kedua iris mata Vian dengan tatapan lembut juga perasaan haru, tak salah memang Tuhan menghadirkan Alvian sebagai putera sulungnya.

"Tapi... Vian mau tanya sama ibu, apa ibu gak keberatan? maksud Vian. Bagaimana pun juga, ayah udah mengkhianati ibu dan Rasya adalah putra dari seorang wanita yang merebut ayah dari kita, apa ibu gak ngerasa sakit hati tiap kali lihat Rasya?"tanya Vian dengan hati-hati.

"Bohong Vi kalau ibu gak ngerasa sakit hati atas apa yang udah ayah kamu lakuin. Ibu juga ngerasa terluka saat pertama kali melihat Rasya, tapi ibu tau, bundanya Rasya juga korban.  Sama seperti ibu, bundanya Rasya gak tau kalau ayah kamu udah menikah dan punya istri. Bahkan bundanya Rasya langsung menceraikan ayah saat tau semuanya, jadi ibu rasa gak ada alasan buat ibu benci sama Hana maupun Rasya, Vi." mendengar ucapan ibunya membuat Vian terdiam. Ia tahu ibunya memang memiliki hati yang begitu lapang dan Vian bangga memiliki ibu seperti Devita.

"Habisin sarapannya, nak! nanti kamu telat ke kantornya."

Vian tersenyum, setelah bertukar cerita dengan Ibu rasanya Vian merasa sedikit lebih tenang mendengar perasaan ibunya yang sebenarnya.

Tentang RasyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang