Part 6. Sebuah Fase Yang Begitu Indah

441 76 7
                                    

Saya minta maaf karena terlalu lama meninggalkan si gemes Hera kesayangan kalian ini. Terima kasih juga untuk apresiasi dan kesetiaan kalian dalam menanti cerita ini. Saya sudah selesai dengan skripsi yang menyita banyak sekali waktu, tenaga dan pikiran. Doakan saja semoga saya sehat selalu agar dapat menyelesaikan novel ini walaupun- masih sangat jauh dari kata ENDING.

Saya tahu menunggu itu melelahkan, semoga kalian mau bersabar karena merangkai kata dalam bentuk tulisan itu mudah untuk saya, bagian sulitnya adalah ketika saya sudah tidak semangat untuk fokus menulis. Karena itu saya harap setiap bab yang saya publish akan selalu mendapat apresiasi yang tidak sekadar vote, melainkan juga komentar. Karena komentar kalian adalah salah satu moodbooster bagi saya untuk semangat berliterasi -sesemangat Marvel yang mulai PDKT dengan Hera.

□■□■□■□■

Katanya, masa-masa terindah itu adalah masa SMA. Sebuah fase di mana manusia penasaran akan sebuah hubungan dengan lawan jenis. Sebuah fase di mana diri sedang ingin-inginnya dicintai. Sebuah fase di mana bunga cinta bermekaran di dalam hati. Seperti musim semi.

Tapi sepertinya Marvel mengalami hal yang cukup serius. Masa pubertasnya datang terlambat. Seperti saat ini contohnya. Di tengah kebingungannya untuk memulai peecakapan teks dengan Hera, ia melabeli dirinya sendiri dengan kata 'bodoh'. Padahal, untuk pemuda seusianya, untuk ukuran laki-laki yang sering berinteraksi dengan gadis-gadis di lingkaran hidupnya, bekal Marvel seharusnya sudah cukup untuk tidak lagi gelisah layaknya anak SMA yang baru mengenal cinta. Tunggu! Terlalu cepat untuk menyebutnya dengan istilah cinta. Tapi- sebenarnya apa ya yang membedakan Hera dengan gadis-gadis lain?

Cantik? Tidak. Banyak yang lebih cantik dari Hera. Manis? Tidak juga. Hera bukan satu-satunya gadis manis yang Marvel kenal. Menggemaskan? Ah, benar, tapi kurang tepat. Yang menarik dari Hera hanya.... apa? Marvel juga tidak tahu. Ia tertarik karena Hera menarik. Bagaimana ya menjelaskannya?

Mrvel berguling-guling di atas kasur, sedang galau-galaunya memikirkan kata untuk memulai percakapan, ponsel yang sedang digenggam pun bergetar. Membuat sang empu tersentak.

Nama Lana di layar membuatnya menghela nafas sebelum menggeser tombol hijau.

"Kenapa?"

"Vel, lo lagi di mana?" Suara Lana terdengar tidak santai di seberang sana.

"Di rumahlah. Napa?" Tanya Marvel.

"Mabarlah."

Marvel mengubah posisi yangiya tadinya tengkurap menjadi berbaring. "Duluan. Gue lagi sibuk."

"Aelah, sibuk apaan sih? Males nih gue main berdua doang sama gebetan lo. Mana maksa bener padahal masih noob."

"Gebetan gue?" Ulang Marvel dengan nada heran. Memastikan ia tidak salah dengar. Sejak kapan Hera dan Lana akrab?

"Ya iya, gue suruh minta ajarin sama lo, dia gamau. Katanya pengen mabar sama lo pas udah pro. Gue suruh minta ajarin sama Nino, dia gak berani."

Marvel mengerutkan hidungnya, lanyas bertanya. "Lo ngomongin siapa deh?"

"Ya gebetan lo. Si Vidia. Siapa lagi emangnya?" Lana menghentikan kalimat tahnanya tiba-tiba. "Oh, iya, gebetan lo bukan dia doang, ya? Tapi ini bukan soal si gemes, Vel. Ini gebetan lo yang kayak lintah, yang nempel mulu ke mana-mana."

Lana itu tipikal manusia yang kemampuan bicaranya lebih unggul dari pada kemampuan berpikirnya, dia akan senantiasa bicara dulu baru berpikir. Well, ini bukan pertama kalinya Marvel mendengar istilah negatif tentang Vidia menurut opini Lana. Tapi, apa sejak tadi dia membicarakan tentang Vidia? Tapi, gebetan Marvel yang mana yang mendapat gelar 'Si Gemes'? "Si gemes siapa?" Tanyanya lelah. Sejak tahu yang dibicarakan Lana adalah Vidia, Marvel sudah tidak semangat untuk mendengarkan.

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang