Masih anget, jangan lupa tinggalkan jejak ya sayang-sayangku
Saya liat liat kalian udah males nunggu ya, bahkan yang komen dikit banget. Semangat guys, aku pasti nyelesain cerita ini kok.
***
Hera berjalan memasuki gedung kampus sambil merogoh tas untuk mengambil ponselnya yang terasa bergetar secara berkala, sebuah panggilan masuk. Di tangannya yang lain ia memegang sebuah miniatur rumah rancangannya yang menyerupai rumah di pedesaan. Ada hiasan berupa rumput dan pepohonan yang ia jadikan hiasan sehingga miniatur rumah itu tampak asri.
Ia mengangkat panggilan masuk itu. Rupanya Marvel yang menghubungi.
"Halo, Kak?"
"Kok gak baca chat aku?"
"Oh, maaf ya, baru sampe kampus, ribet lagi bawa miniatur rumah. Kenapa emangnya?"
"Nanti aku gak bisa jemput. Tapi aku udah minta tolong Nino anter kamu pulang."
"Loh? Kok Nino?"
"Kamu kan gak bawa motor, Babe."
"Ya gampanglah itu, nebeng Raren juga bisa." Hera memencet tombol lift.
"Di motor? Miniaturnya kalo rusak gimana?"
Hera melangkah masuk ke dalam lift setelah pintunya terbuka. "Gak aku bawa pulang. Kemarin kan aku fotoin ke Pak Amir, terus katanya beliau mau miniatur aku dipajang di ruang dosen." Tangannya memencet tombol untuk menutup.
"Oh, ya udah. Kalo kamu mau pulang sama Raren nanti bilang aja ke Nino atau Nadin. Aku gak bisa jemput tapi nanti malem aku ke rumah. Tanyain ya ayah sama bunda mau dibawain apa."
"Gak usahlah. Kamu kebiasaan kalo ke rumah pasti bawa tentengan. Udah sering dibilangin juga sama ayah kalo mau main mah main aja."
"Ya gapapalah, buat temen ngobrol."
Pintu lift terbuka, dan Hera segera keluar dari benda kotak itu. "Ya udah entar aku tanyain, palingan pada mau martabak telor sih. Kamu gimana kerjanya? Lancar?"
Marvel akhir-akhir ini sibuk membantu ayahnya di kantor karena sudah sidang skripsi seminggu yang lalu. Tinggal menunggu waktu wisuda. Intensitas kenersamaan mereka jadi berkurang karena Hera mulai serius menyusun skripsinya. Meski belum wisuda, bekerja adalah keputusan yang diambil Marvel karena Hera. Marvel mengatakan kalau ia tidak sabar untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Setelah lulus sidang skripsi, pembahasan Marvel semakin berat saja. Setiap mereka bertemu, selalu ada sesi di mana Marvel membahas tentang pernikahan. Katanya, dia sedang belajar kiat-kiat menjadi suami yang baik. Bahkan Hera pernah tidak sengaja melihat sampul buku bertuliskan fiqih nikah di dashboard mobil Marvel.
Katakan pada Hera, perempuan mana yang tidak tergiur dengan laki-laki seperti Marvel? Perempuan mana yang tidak ingin dinikahi laki-laki sebaik Marvel? Bahkan keinginan Hera untuk tidak menikah muda demi sukses berkarir semakin hari semakin tipis. Ekonomi keluarganya juga mulai membaik semenjak ayahnya bekerja sebagai sopir di keluarga Marvel. Bahkan sang ayah meminta Hera berhenti bekerja di minimarket atau mencari pekerjaan lain yang jam kerjanya lebih fleksibel untuk mahasiswi tingkat akhir seperti dirinya. Hanya saja Hera belum bisa mengundurkan diri karena belum ada yang menggantikannya bekerja.
"Lancar, alhamdulillah. Papa lagi ngajak aku meeting mulu, biar tau apa aja yang mesti aku kelola nanti kalau udah gantiin beliau."
Marvel memang terlahir dengan segala kemudahan. Hidupnya selalu tercukupi sejak kecil, tumbuh di lingkungan harmonis dan masa depannya pun sudah sangat terencana. Berbeda dengan Hera yang harus merasakan jatuh bangun dan lika liku hanya untuk bertahan menjadi orang yang selalu bersyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
BESTARI
RomanceNamanya Halmahera Bestari. Bungsu dari tiga bersaudara. Hera -begitulah dia akrab disapa- bukan gadis yang senang bergaul dengan banyak orang, ia lebih menyukai kesunyian, karena baginya itu menenangkan. Menyukai kesunyian bukan berarti Hera tidak p...