Part 7. Seputar Izin dan Kepercayaan

385 72 9
                                    

Terima kasih atas dukungan vote dan komentar serta kesabarannya dalam menunggu.

Tapi kalau boleh tau, kenapa sih kalian setia sekali dan rela menanti bab baru Bestari? Coba kasih saya alasan yang mengesankan, barangkali bisa jadi acuan untuk segera merampungkan cerita ini.


◇◇◇



Bunda tidak termasuk golongan orang tua yang membatasi kehidupan anak-anaknya. Sejak zaman Tantri dan Tiara belum menikah, Bunda tidak pernah melarang keduanya untuk pergi ke mana pun mereka mau. Asalkan tujuannya jelas dan selalu memberi kabar. Bunda adalah orang yang memberi kepercayaan penuh kepada anak-anaknya karena telah dibekali ilmu agama sejak kecil, percaya bahwa ia telah mendidik moral mereka dengan baik dan tidak perlu khawatir mereka terlibat dalam pergaulan bebas.

Beda kepala, beda pemikiran. Ayah cukup protektif, apa lagi ketiga anaknya adalah perempuan. Tantri dan Tiara kerap kesal kalau Ayah sudah melarang pergi. Bukannya berniat mengekang, Ayah cuma tidak ingin hal-hal buruk terjadi di luar kemampuannya. Tapi di antara ketiga anaknya, Hera adalah yang paling jarang meminta izin untuk pergi. Bungsunya itu seperti punya dunianya sendiri yang dia buat sehingga tidak menumbuhkan rasa bosan meski dia hanya di rumah saja kalau sedang tidak ada kegiatan di luar.

Kalau ditanya, Hera selalu memiliki jawaban yang sama. 'Males' atau 'mager'. Kadang Ayah justru ingin Hera keluar. Sesekali menikmati masa mudanya. Tapi memang anaknya lebih senang di rumah, menulis, bermain ponsel, belajar, atau membantu Bunda membuat kue.

Si bungsu memang agak lain, tapi itu yang membuat Ayah tidak pernah membatasi keinginannya. Hera jarang membuat Ayah dan Bunda khawatir, jadi ketika Hera pulang bekerja pukul enam pagi, dia meminta izin untuk pergi ke Puncak. Hal itu membuat Ayah dan Bunda penasaran.

"Sama temen-temen Adek?" Tanya Bunda.

Hera diam sebentar, kemudian kepala kecilnya menggeleng. "Enggak, Bun. Aku sama temen. Bukan temen sih, dia kating di kampus."

"Cewek?" Tambah Ayah.

"Cowok, Yah." Jawab Hera sambil meremat kedua tangan di atas pangkuannya.

Sebenarnya Hera merasa sedang disidang sekarang. Selama ini ia tidak pernah meminta izin keluar bersama lawan jenis. Kalau pun ada teman laki-laki yang ingin mendekati Hera, mereka harus cukup puas dengan mengobrol di rumah. Sebab Hera yang memang terlalu malas kalau pergi-pergian.

Berbeda dengan Ayah yang tampak menimbang, Bunda menyuguhkan senyum jahil. "Siapa namanya, Dek?"

"Marvel, Bun. Orangnya baik, ganteng juga."

"Ooo." Goda Bunda kemudian melirik Ayah. "Gimana, Yah? Kasih aja sih kalau menurut Bunda."

Ayah mendesah pelan setelah menatap Hera lamat-lamat. "Boleh Adek suruh dia ke sini dulu, gak? Ayah mau tau orangnya yang mana."

Hera melayangkan tatapan protes. "Nanti aja kalo emang udah fix, Yah. Nanti juga dia ke sini jemput aku."

Alis Ayah menyatu. "Jadi kalau misalnya belum fix, dia gak bakal ke sini?"

"Ih bukan gitu!" Bantah Hera. "Tadi dia mau bantu aku minta izin Ayah, tapi aku larang karena gak enak. Aku juga udah gede, Yah. Bisa jaga diri."

Jawaban Hera membuat Ayah dan Bunda saling pandang. Kemudian Ayah berkata, "kapan berangkatnya?"

"Malem selasa, soalnya aku liburnya cuma malem selasa."

"Berangkatnya malem? Besoknya gak kuliah memang?" Tanya Ayah.

Hera tidak bisa menjawab, tapi sepertinya alam mendukung Hera malam ini.

"Malem selasa atau selasa malem, Dek?" Tanya Bunda.

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang