Part 3. Sudut Lain Dari Marvel

410 64 4
                                    

Halo, saya terlalu lama absen, ya. Maaf, saya lagi ada proyek lain 🙏🏻🙏🏻 sebisa mungkin saya akan update rajin-rajin.

Jangan bosan tinggalkan jejak, ya.

Selamat Membaca❗

💚💚💚

***

Setiap orang pasti punya keinginan yang besar dalam hidupnya. Meski prosesnya tidak mudah, mereka yang benar-benar menginginkan sesuatu pasti akan berusaha dan berdoa untuk mendapatkannya. Tapi benar kata Patrick Kellan bahwa yang tidak meminta biasanya adalah yang paling banyak diberi.

Lalu bagaimana dengan Hera yang kadang suka lupa diri dan meminta banyak hal pada Tuhannya?

Baiklah, mari belajar untuk memahami salah satu hukum alam dari kacamata Hera bahwa: Setiap proses yang panjang akan membuahkan hasil yang besar. Berdasarkan pengalaman, ketika Hera mendapatkan sesuatu dengan mudah, sesuatu itu tidak akan bertahan lama di sisinya. Jadi ketika Hera benar-benar bersusah payah untuk mendapatkan sesuatu, semoga kelak hasilnya sesuai dengan usaha. Tuhan tahu saat yang tepat untuk mengabulkan doa seorang hamba.

Oh, omong-omong keinginan terbesar Hera masih sama. Ia ingin menjadi Arsitek dan menghasilkan pundi-pundi uang untuk membangun kontrakan. Ayah memiliki tanah seluas dua ratus meter di belakang rumah, cukup untuk membangun tiga atau empat pintu kontrakan. Uang dari hasil kontrakan itu akan Hera serahkan pada Ayah dan Bunda sepenuhnya untuk menunjang hidup mereka tanpa harus bekerja di hari tua.

Hera ingin memberikan banyak hal pada orang tuanya sebelum meninggalkan mereka untuk membangun keluarga kecilnya sendiri. Lagi, semoga inginnya yang mulia ini dapat tercapai.


***


Siang tidak begitu panas saat itu hingga beberapa kursi di taman kampus tampak bertuan. Ada yang sibuk mengobrol, berdiskusi, mengerjakan tugas kuliah dan ada pula yang sibuk memotret diri dengan teman.

“Serius amat, Bu.”

Hera yang tengah menyeruput americano dengan pandangan tidak lepas dari layar laptop, berjengit mendengar suara tepat di telinga kanannya. Ia menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati Raren yang bergerak memutari kursi dan duduk di sebelahnya. “Gak ada kelas lo?” Tanya Hera sambil meletakkan americano-nya di kaki kursi.

“Enggak, diundur jam tiga entar.” Jawab Raren, matanya melirik gelas kopi Hera sebelum mendengus kesal. “Ngopi lagi, lo?”

“Dikit. Gak gue abisin, kok. Biar gak ngantuk aja ini.” Jawab Hera.

Raren mendapati bawah mata Hera sedikit hitam. “Lo ngapain, sih? Biasanya kalo gak ada kelas ‘kan nyolong waktu buat tidur.”

Hera menunjuk layer laptopnya. “Nugas, deadline nanti sore. Gue ngantuk banget, asli, makanya minum kopi.”

Meski hanya melihat lewat ekor mata, Hera yakin Raren tengah mengamati dirinya. Tapi Hera memilih untuk pura-pura tidak menyadari itu. Dikerahkannya semua fokus pada tugas kuliah. Kemudian dapat Hera dengar Raren membuang nafas kasar.

“Lo tuh, ya! Udah malem gak pernah tidur gara-gara kerja, minumnya kopi mulu, sering skip makan siang. Mau mati muda apa gimana?” Raren berceloteh sambil memainkan handphone-nya.

Hera meringis mendengar celotehan Raren yang cukup menohok. “Baru juga minum kopi. Dua hari yang lalu gue gak minum.”

“Mending lo tidur dari pada minum kopi.” Imbuh Raren.

“Gue lagi nugas, anjir! Deadline nanti jam lima. Makanya gue minum kopi.”

Raren menghentikan pergerakan jarinya di layar handphone untuk berpikir, satu sisi ia mau membantu Hera mengerjakan tugasnya, tapi di sisi lain Raren tidak paham dengan mata kuliah anak Teknik. Ia ‘kan jurusan Sastra Inggris. “Lo sih! Nunda-nunda mulu, giliran deadline aja ketar ketir kan!”

“Bukannya nunda, tapi akhir-akhir ini emang semua dosen ngasih tugas seabrek. Gue ngerjain matkul yang lain dulu kemarin-kemarin, tuh.”

Iya, sih. Pikir Raren. Semakin naik semester, semakin Dosen seenaknya memberi tugas. Raren pun merasakan keluhan Hera.

Mungkin ini sebabnya banyak Mahasiswa menyerah dan berhenti kuliah di tengah jalan meski secara finansial mereka jelas terpenuhi. Sayang sekali. Di luar sana pasti banyak orang yang memiliki mimpi besar, hanya saja tidak semua orang seberuntung itu. Apa lagi kalau kamu tidak lahir dari keluarga yang kaya. Hera ini satu banding seratus, tekadnya untuk mengejar mimpi tidak pernah pupus.

Sejauh ini Raren tahu satu-satunya yang menguatkan tekad Hera adalah orang tua. Hera ini sebenarnya sangat mengagumkan, hanya saja dia cukup tertutup pada laki-laki. Padahal yang mendekatinya tidak satu dua orang, terhitung belasan sejauh dia kuliah menginjak semester lima.

Raren pernah mempertanyakan ini, dan Hera tampak yakin menjawab dengan kalimat begini -lo pernah denger kalimat ini, gak? ‘kalo mau jadi wanita karir yang sukses, pastikan tidak ada laki-laki dalam perjalananmu’- meski saat itu Hera tampak sangat yakin mengatakannya, Raren tidak percaya.

Mereka tidak kenal sebulan dua bulan. Raren tahu bagaimana Hera ketika berbohong. Raren tahu bagaimana Hera ketika menyembunyikan sesuatu. Raren tahu bagaimana wajah malu Hera ketika tertangkap basah sedang berbohong. Dan Raren juga tahu bagaimana tatapan memuja Hera pada sosok yang saat ini tengah berjalan melewati taman kampus bersama kedua temannya.

Hera menyukai pemuda itu.

Mata Raren masih setia mengamati Hera yang sesekali melirik tiga pemuda yang baru saja lewat. Tapi ketika Hera menunduk, atensi Raren beralih ke arah tiga pemuda itu. Ada satu orang yang entah muncul dari mana dan sekarang sudah bergabung dengan mereka. Berjalan di tengah antara Marvel dan Lana.
Raren menyebutnya Si Cabe.

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang