Part 16. Tentang Sebuah Kesempatan

189 31 8
                                    

Jangan lupa tinggalin jejak ya sayang-sayangku

***

Hera menatap ponselnya setelah mematikan panggilan telepon. Ia menghela nafas pelan dan memikirkan banyak hal akhir-akhir ini. Telepon itu dari Marvel yang memberitahu bahwa hari ini dia akan menemui Vidia untuk menyelesaikan perkara yang terjadi. Saran Nino rupanya diterapkan meski butuh waktu karena Hera memintanya untuk bicara baik-baik, tidak pakai emosi. Hera mendukung Marvel untuk mendatangi Vidia, semata-mata untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi dan boleh saja mengingatkan Vidia untuk tidak menganggunya di kemudian hari.

Bunda meletakkan nampan berisi empat gelas susu coklat lengkap dengan sepiring biskuit di meja dapur. "Bawa ke kamar nih, Dek."

Tentu saja empat gelas susu itu untuk sahabat-sahabat Hera yang datang dua jam lalu. Karena ini hari minggu yang mana adalah hari libur, mereka datang ke rumah Hera untuk menunaikan janji.

Hera meraih nampan itu sambil tersenyum. "Makasih ya, Bun."

"Kalo biskuitnya kurang, ambil lagi aja. Masih banyak. Terus nanti ajak makan temen-temennya, Bunda masakin rendang." Bunda menunjuk potongan daging ayam yang masih mentah dan sudah dicuci.

Bunda memang selalu begitu. Kalau punya uang lebih, siapa pun yang datang bertamu pasti akan disuruh makan, bukan makanan ringan, tapi makanan berat. Hal ini merupakan timbal balik, Bunda peecaya jika ia memperlakukan anak orang lain dengan baik di rumahnya, maka orang lain juga akan memperlakukan anaknya dengan baik di luar sana. Hera sudah tidak heran, mungkin ia juga akan menerapkan hal ini nanti setelah menikah.

Memasuki kamar, Hera melihat lantainya sudah seperti kapal pecah, bahan material untuk miniatur ada di mana-mana. Diskusi tiga orang sahabatnya membuat Hera terharu.

"Minum dulu nih." Hera meletakkan nampannya di meja samping tempat tidur.

"Ra, ini nerapin atap rumahnya miring atau lurus, ya? Kalo lurus kayak aneh gitu gak sih?" Raren bertanya.

Hera mendekat, bergabung dengan temannya yang membentuk lingkaran dengan miniatur yang sudah setengah jadi. "Oh, ini miring harusnya, cumanya ukurannya kurang pas. Harusnya gak ada lebihnya."

Nadin meraih gergaji kecil. "Berarti potong lagi, kan?"

"Iya, tapi diukur dulu." Jawab Hera sambil melirik Chelva yang tengah merapikan pohon kecil. "Itu mesti digunting kalo mau rapih, Chel."

Chelva menatap Hera cengo. "Digunting? Apa gak sayang?" Tanyanya.

Hera menggeleng. "Nggak, itu bahan-bahannya gue beli yang agak murah, jadi potongannya kurang rapih. Tapi bisa dirapihin sendiri. Dipotong aja."

"Lo aja nih yang motong, gue takut kurang rapih." Chelva tidak ingin menanggung risiko. Bahan material ini murni dibeli dengan uang Hera. Dia sengaja beli bahannya sebelum mereka patungan seperti rencana awal. Alhasil mereka jadi memaksa untuk membantu Hera menyusun miniatur itu. Kalau Chelva salah menggunting pohon, mungkin Hera akan keluar uang lagi dari kantongnya.

"Chelva tangannya tremor itu dari tadi." Ucap Nadin.

"Iyalah, gue gak pernah megang beginian soalnya. Takut hasilnya gak sesuai ekspektasi." Sahut Chelva.

Hera dan Raren tertawa.

"Gapapa, lagian lo kan gak ada yang satu jurusan sama gue. Pasti awam soal beginian." Hera berucap sambil memotong miniatur pohon dengan cekatan.

"Ra, gue minum ya susunya." Nadin beranjak untuk mengambil susu.

"Iya, minum aja. Mumpung masih anget."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang