Setiap hari itu membosankan bagi Hera yang hidupnya hanya seputar kerja dan kuliah. Tapi sejak dekat dengan Marvel ia menjadi lupa bagaimana rasanya bosan bahkan ketika sedang sendiri karena seluruh isi kepalanya kerap dipenuhi dengan laki-laki itu.
Yang jadi masalah adalah Hera yang menjadi tidak tahu diri. Ia jadi lebih sensitif karena akhir-akhir ini hanya pemikiran negatif yang muncul di kepalanya perihal Marvel. Sebenarnya, laki-laki itu ke mana, sih? Hera merasa tidak tahu diri karena berpikir ia harus tahu semua hal tentang Marvel. Padahal, hubungan mereka belum resmi dan perasaan Marvel mungkin masih ragu.
Buktinya dia hilang tanpa kabar. Menyisakan Hera dengan segenap tanya. Apakah terjadi sesuatu pada Marvel? Apakah Marvel baik-baik saja? Lalu pertanyaan seperti apakah ada salah yang tak sengaja ia perbuat? Apakah ada salah yang tak sengaja ia ucap? Atau apakah Marvel baru menyadari bahwa dekat dengan Hera itu tidak bermanfaat juga mengisi benak Hera selama tiga hari ini. Marvel, lihatlah gadis dengan hari-hari yang melelahkan ini harus overthinking karena tindakanmu.
"Ra, ada yang nyari lo tuh."
Hera yang tengah duduk di belakang meja kasir dan terkantuk-kantuk, melirik keluar. Matanya menyipit untuk memastikan siapa yang kata Yasha tengah mencarinya. Itu adalah laki-laki yang bahkan hanya melihat punggungnya saja sudah membuat jantung Hera berdegup keras. Iya, Marvelion Rajendra. Hera berdiri dan melirik jam tangannya. Pukul delapan malam.
"Lo udah selesai display, Sha?"
Yasha mengangguk. "Udah. Sini biar gue yang jaga kasir. Lo keluar aja dulu."
Hera mengangguk dan segera keluar. Menghampiri Marvel yang terdengar tengah merapalkan sesuatu, bahunya bergerak tidak tenang. Kenapa?
"Ka?"
Punggung Marvel tampak kaku, kemudian dia berbalik menatap Hera sambil menipiskan bibirnya. "Hai." Hanya itu yang dapat dia ucapka sebagai salam pertemuan.
"Lo ke mana aja?" Hera mengabaikan sapaan Marvel. Kekhawatirannya seketika meluap melihat Marvel berdiri dan tampak sehat. Berganti dengan kekesalan yang samar. Hera berhak marah tidak, ya?
"Sorry, Ra, gue kemarin-kemarin gak ada kabar." Marvel tidak menyangkal kesalahannya.
Hera menyipitkan matanya, "iya, lo ke mana aja?" Ia mengulang pertanyaannya.
"Gue sebenernya ada. Dan gak ke mana-mana. Gue cuma lagi meyakinkan hati aja."
Jawaban Marvel menciptakan degup cemas di dada Hera. Perkara apa yang sedang diyakinkan Marvel dalam hatinya? Apakah itu berhubungan dengan Hera? Lalu bagaimana jika akhirnya Marvel tidak mau melanjutkan kedekatan mereka?
Melihat segudang tanya yang tergambar dalam ekspresi Hera, Marvel berdehem sejenak, melirik kiri-kanan dan menggerakkan kaki secara acak. "Ra, waktu gue ngajakin lo nongkrong itu, sorry ya karena ngebatalin tanpa ngejelasin apa-apa."
"Gapapa, gue cuma khawatir aja karena lo gak ada kabar abis itu. Takutnya lo kenapa-kenapa. Tapi kalo ternyata lo sehat-sehat gini, apa gak bisa ngabarin gue sebentar aja? Gue... bingung." Ungkap Hera.
Marvel merasa bersalah. Jelas. Ia membuat gadis itu berdiri dalam kebingungan yang bisa saja menyesatkan. Berpotensi melenyapkan kesempatan untuk membangun hubungan. "Gue... hm.... Ra, ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi jujur, gue suka sama lo."
Wajah bulat Hera melongo, mulut kecinya terbuka sedikit, menunjukkan dua gigi depannya yang menggemaskan. Apa ini sebuah pernyataan cinta? Bagaimana menanggapinya? Hera tidak menduga Marvel akan mengatakan itu.
"Gue suka sama lo, Ra. Gue udah yakin sama perasaan gue. Lo gak mesti jawab sekarang. Gue cuma pengen lo tau aja kalo gue suka sama lo. Jadi tolong, pertimbangin perasaan gue, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
BESTARI
RomanceNamanya Halmahera Bestari. Bungsu dari tiga bersaudara. Hera -begitulah dia akrab disapa- bukan gadis yang senang bergaul dengan banyak orang, ia lebih menyukai kesunyian, karena baginya itu menenangkan. Menyukai kesunyian bukan berarti Hera tidak p...