Part 5. Tentang Selangkah Demi Selangkah

457 75 11
                                    

Jangan lupa vote!!

Maaf baru sempet update, saya lagi ngejar skripsi banget karena targetnya tahun ini mau sidang 🙏🏻 mohon kalian memaklumi

💚💚

■■■■■■■■■■■■

Hera itu memiliki ketertarikan yang besar mengenai alam dan hukumnya yang tidak tertulis. Kata-kata bijak yang memotivasinya untuk menerapkan hukum-hukum itu dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari caranya bersikap, tutur katanya yang baik dan emosinya yang tidak cepat meledak-ledak. Mungkin itu sebabnya tetangga-tetangga sekitar begitu ramah dan segan padanya. Kata Ayah, selama kita menghargai semua orang, maka kita akan lebih sering dipertemukan dengan orang yang juga dapat menghargai kita.

Di antara banyaknya tetangga, ada satu rumah sederhana yang hanya dihuni oleh seorang perempuan tua, Hera memanggilnya Mak Ira, janda dua anak yang dua-duanya merantau ke luar negeri, satu di Singapura dan satu di Jepang. Kurang lebih dua tahun lalu saat keluarga Hera sedang jatuh-jatuhnya, masa di mana ayah baru saja berhenti kerja dan Hera yang baru lulus sekolah, Bunda sering meminjam uang pada Mak Ira untuk membeli beras. Masih lekat di ingatan Hera tentang Bunda yang selalu menangis tiap kali meminjam uang pada Mak Ira. Bukan karena tidak diberi, justru Mak Ira selalu memberi, bukan meminjamkan. Bunda menangis lantaran malu terlalu sering meminta bantuan pada Mak Ira.

Tapi itu semua sudah berakhir, hutang-hutang yang kata Mak Ira tidak perlu dibayar nyatanya sudah Hera lunasi semenjak ia menerima gaji pertamanya di Minimarket. Ya, meski bayarnya tidak tunai alias nyicil. Katanya selalu ada hikmah dibalik setiap kesulitan. Dulu Mak Ira dikenal sebagai janda tua yang judes, nyatanya setelah merasakan kebaikannya, Hera justru semakin akrab dengan perempuan itu.

Seperti sekarang ini, Hera sedang bertandang ke rumah Mak Ira untuk memberikan kue bolu buatan Bunda. Budaya saling berbagi faktanya sudah terjalin antara keluarga Hera dan Mak Ira.

"Ini nggak kebanyakan, Ra?" Mak Ira bertanya sambil membawa nampan berisi teko dan gelas dari dapur.

Hera yang sedang memainkan handphone-nya segera menaruh benda itu di atas meja, bersamaan dengan Mak Ira yang meletakkan nampan di meja yang sama. "Nggak, ah. Dikit malah."

"Dikit apanya? Entar takutnya gak abis." Mak Ira membantah.

"Ah, nanti juga habis. Makannya sama kopi, Mak." Balas Hera sambil menuang air dari teko dan meminumnya. "Lagian enak banget tau, Mak. Aku aja abis tujuh potong. Hehe."

Mak Ira mendengus. "Iya, keliatan, tuh. Lemaknya lari ke pipi semua." Ejeknya sambil memakan sepotong bolu itu.

Hera memajukan bibirnya sambil menangkup dua pipi berlemaknya. "Pipi aku tembem banget ya, Mak?"

Pertanyaan serius Hera membuat Mak Ira tertawa. "Tembem, tapi ga tembem banget. Pas. Soalnya muka kamu gak bulet banget." Kalo boleh jujur, Mak Ira mau bilang pesona Hera ini lebih ke arah imut-imut begitu dari pada cantik yang dewasa. Tapi sebaiknya tidak usah diungkap. Takut anak itu terbang.

"Kakakmu jadi pindah, Ra?"

"Udah pindah, Mak. Dua hari yang lalu."

"Ke Pondok Indah, ya?"

"Iya."

"Tantri itu anaknya berapa sih, Ra?"

"Belum punya. Kalo Kak Tiara udah dua."

Mak Ira tidak begitu mengenal kakak-kakak Hera sebab ia adalah pendatang dari Desa yang baru menetap lima tahun lalu. Ia bahkan saja ingat Hera punya kakak baru-baru ini. Tidak sengaja dengar omongan orang yang begitu kagum karena kakak Hera itu miliknya bagus, dapet jodoh orang kaya dan berpendidikan. Kalau Tiara, Mak Ira belum pernah melihat langsung. Tapi kata orang-orang, Tiara juga miliknya bagus, menikah dengan anak juragan kontrakan.

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang