Bagi seorang gadis yang baru akan tumbuh dewasa, permasalahan cinta adalah suatu hal yang biasa. Hera tahu mengenai hal ini, ayolah, dia seorang penulis, mengamati, menalar dan merasakan adalah makanan sehari-hari. Segala bentuk adegan sedih dan memilukan yang dia tulis terkadang merangsang dirinya sendiri untuk menangis. Tapi rasanya berbeda saat dia merasakan hal itu di kehidupan nyata.
Padahal ia hanya kecewa. Padahal mungkin saja Marvel punya urusan mendesak yang tidak bisa dia tinggalkan. Atau boleh jadi dia lupa tentang ajakannya nongkrong bersama Hera, lupa adalah salah satu kebiasaan manusia.
Hera itu sensitif, tapi dia tidak cengeng. Terkadang, rasionalitas di atas segalanya. Hera memang sangat menyukai Marvel, tapi ia tidak terbiasa menangisi hal yang belum jelas. Baginya, kecewa bukan suatu perasaan yang membuat manusia layak untuk menangis, atau mungkin selama ini Hera terlalu sibuk kuliah dan bekerja hingga sedih pun jarang sekali ia nikmati. Tuntutan untuk selalu tangguh dan kuat menjadikan ia tidak ekspresif dalam menggambarkan perasaannya.
Sudah dua hari tidak ada kabar mengenai Marvel. Hera tidak melihatnya d kampus. Bukannya tidak penasaran, sejauh ini Hera sudah mengirim lebih dari lima bubble chat pada laki-laki itu. Tapi masih belum dibalas. Perasaan Hera jadi tidak enak, ia takut terjadi susuatu yang buruk pada Marvel.
Jadi pada hari ketiga, Hera menunggu Nino di depan kelas laki-laki itu. Tidak lama kemudian seorang Dosen keluar, diikuti beberapa Mahasiswa yang menandakan kelas telah berakhir. Nino adalah yang paling terakhir keluar, bersama seorang temannya.
"Hera?" Nino menyapa.
"Duluan ya, No." Teman Nino berpamitan.
"Oke." Nino mengangguk kemudian menatap Hera. Lorong depan kelas Nino tidak terlalu ramai. "Lo nungguin siapa?"
Hera menelan ludahnya. "Gue nungguin lo, Kak."
Nino tampak bingung. "Kenapa? Mau ngobrol di dalem kelas gue aja?"
"Gak usah, di sini aja." Tolak Hera. "Gue cuma mau nanyain soal, itu, Kak Marvel." Hera meringis dalam hati.
"Marvel?" Ulang Nino. "Kenapa emangnya?"
Hera mendadak takut, ini pertama kali baginya menanyakan tentang laki-laki. "Itu, gue gak liat dia selama dua hari kemarin, sama hari ini, lo kira-kira tau gak dia ke mana? Soalnya gue chat juga gak dibales-bales, jadi gue agak khawatir aja."
Nino terdiam sejenak, "lo gak liat dia selama dua hari ini?" Ulangnya.
Hera mulai fokus dengan jawaban Nino, "dia masuk terus?"
Lagi, Nino diam dulu sebelum menjawab. Nalarnya sedang bekerja. Kemudian dengan mantap dia menjawab. "Gue juga belum liat dia sih, lo udah coba nelfon dia?"
Kepala bulat Hera menggeleng. "Gue takut ganggu, Kak kalau telfon. Chat aja belum dibales-bales." Hera menunjukkan handphone-nya.
"Mungkin chat lo tenggelam." Nino mencoba menghibur. Tapi wajah Hera justru terlihat sedih. "Atau gini aja, nanti gue sama Lana rencana mau main ke rumah Marvel, lo mau ikut?"
Gak mungkin! Batin Hera. "Oh, kalau lo mau ke rumahnya, gua titip salam aja, Kak. Sama bilangin, kalo ada waktu luang, tolong kabarin gue."
Nino mengamati ekspresi Hera. Dia percaya gadis berwajah gembul ini memang benar-benar mengkhawatirkan Marvel. Ah, ia jadi merasa bersalah karena sedikit berbohong. "Ya udah, nanti gue sampe-in. Ada lagi yang mau lo tanyain?"
Hera menggeleng. "Nggak, itu aja. Makasih ya, Kak. Maaf ganggu waktunya. Gue duluan."
"Oke. Langsung pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BESTARI
RomanceNamanya Halmahera Bestari. Bungsu dari tiga bersaudara. Hera -begitulah dia akrab disapa- bukan gadis yang senang bergaul dengan banyak orang, ia lebih menyukai kesunyian, karena baginya itu menenangkan. Menyukai kesunyian bukan berarti Hera tidak p...