Part 8. Prinsip dan Tanggung Jawab

426 71 20
                                    

Halo, jangan lupa vote dan komentarnya ya 🕊

***

Perjalanan dari Jakarta-Puncak seharusnya memakan waktu kurang lebih 3 jam, tapi karena ini sudah masuk November -bulan-bulan akhir tahun, maka setiap pengendara roda dua harus siaga membawa jas hujan agar perjalanan tidak terhambat. Tapi di tengah hujan yang sangat deras, sebagian pengendara motor memilih untuk meneduh dari pada melanjutkan perjalanan.

Hera dan Marvel adalah contohnya. Beberapa kali mereka harus meneduh, entah untuk memakai jas hujan atau memang cuaca tidak memungkinkan untuk terus menempuh perjalanan. Akhirnya setelah hampir 4 jam perjalanan, keduanya tiba juga di warpat.

Yang pertama kali Marvel lakukan begitu mereka tiba adalah memesan susu jahe. Wajah bulat Hera yang tidak ada rona sama sekali, membuatnya merasa bersalah. Gadis manis itu pasti kedinginan, namun enggan mengeluh. Dari sini Marvel tahu bahwa Hera adalah tipikal orang yang selalu 'nggak enakkan'.

"Masih dingin?" Marvel memulai percakapan, mereka duduk saling berhadapan. Suasana Warpat tidak terlalu ramai, meski besok tanggal merah, mungkin orang-orang berpikir lebih baik menghabiskan hari libur dengan beristirahat di rumah.

Hera meletakkan gelasnya di atas meja, tangannya masih menggenggam untuk mendapat kehangatan. "Mendingan, Kak. Sorry, ya, jadi nyusahin." Cicitnya pelan.

Hal itu mendapat penolakan keras dari Marvel, dia menggeleng tegas. "Enggak, enggak, justru gue yang harus minta maaf, gue nggak memperkirakan kalo ini udah masuk akhir tahun, udah pasti sering hujan." Selain karena sudah masuk akhir tahun, Bogor memang terkenal dengan kota hujan.

"Gue belum terbiasa aja keluar kota malem-malem gini, Kak. Jadi agak lemah." Di sisi lain, Hera yang gampang insecure merasa dirinya kecil sekali karena tidak bisa menyeimbangkan Marvel.

Tadinya Marvel pikir karena Hera biasa kerja malam, jadi tidak masalah mengajaknya keluar dengan motor. Tapi kalimat Hera barusan menyadarkan Marvel bahwa kerja malam dan keluar malam adalah dua hal yang berbeda.

Tangan kekar Marvel terulur, memegang tangan Hera yang masih menempel di gelasnya. Marvel menghela nafas lega.

Aksi kecil Marvel mungkin sederhana, tapi efeknya tidak sesederhana itu. Wajah bulat Hera merona. Ia tahu Marvel hanya mengecek suhunya, tapi jantung yang berdetak cepat ini tidak mengerti situasi. Rasa panas seketika menjalar di pipi Hera.

"Padahal kalo siang view-nya pasti bagus."

Hera mengikuti arah pandang Marvel. Hamparan kebun teh seharusnya memanjakan mata, sayangnya hanya kegelapan yang tampak di hadapan mereka. "Masih banyak siang, Kak. Besok juga bisa liat." Hera melirik jam tangannya, hanya untuk mendapati bahwa sekarang sudah pukul dua pagi.

Marvel melirik Hera, bibir tipisnya mengulas senyum. "Besok pulangnya sore ya, Ra."

Alis Hera terangkat, kemudian kepala bulatnya mengangguk.

Sebelum berangkat, Hera sempat cemas, takut kalau ia pergi berdua dengan Marvel, pemuda itu akan menyadari betapa membosankannya gadis ini. Tapi obrolan di antara mereka mengalir begitu saja. Marvel memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Mereka membicarakan banyak hal tentang dunia.

Di sisi lain, Marvel menilai sesuatu. Hera yang banyak diamnya ini, punya banyak pengetahuan yang mungkin tidak semua orang tahu. Dia cenderung lebih banyak berpikir dari pada berbicara. Hera yang selalu diam dan tampak mudah diremehkan ini punya kemampuan menalar yang luar biasa. Marvel merasa semua orang harus tahu hal ini, tapi bagaimana jika semua orang tahu daya tarik Hera dan benar-benar tertarik padanya? Itu... menyebalkan.

BESTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang