Dalam kegelapan malam, Akaashi berdiri terdiam ujung lorong yang panjang. Seluruh tubuhnya gemetar. Bukan karena dinginnya udara malam, bukan karena guyuran hujan gerimis. Tapi karena adegan di depannya saat ini.
Kenma, sahabatnya, tengah berlutut di sana. Hujan gerimis menyelimuti jalanan kosong, menciptakan ketenangan yang berbahaya.
Ketika kilatan petir menyambar, Akaashi melihat pria bertubuh tinggi itu menarik kerah Kenma dan memaksanya berdiri, caranya amat kasar dan tanpa ampun. Ia rapatkan tubuh Kenma ke dinding dengan menekan bahu pria itu.
Tak lama, pisau lantas mendarat tepat di dada kiri Kenma, dan Akaashi bisa merasakan denyutan luar biasa dalam dadanya saat ia menyaksikan darah muncrat dalam sekejap.
Tak sampai di sana, pria itu membuat satu luka panjang nan lebar dengan menarik pisau sampai ke bagian perut. Akaashi merasakan tubuhnya melemas seketika, air asin mulai mengumpul di sudut matanya.
Tubuh Kenma ambruk ke tanah. Genangan darah mulai terbentuk di sekitarnya, dan perlahan terus mengalir ke sekitar.
Kenma meringkuk, menahan rasa nyeri yang perlahan membawanya menuju kematian. Matanya melihat ke sana kemari dan tak sengaja bertemu tatap dengan Akaashi.
Meski sekarat, ia masih memiliki kekuatan untuk menatap dan tersenyum tipis pada Akaashi.
Dengan binar mata yang semakin memudar, Kenma mengirim pesan terakhir melalui tatapannya.
"Larilah, Akaashi! Larilah!"
Padahal 10 menit yang lalu semuanya baik-baik saja, ketika Akaashi meninggalkan Kenma untuk membeli beberapa cola dingin di toko swalayan terdekat.
Benar, ini juga salah Akaashi. Tak seharusnya ia meninggalkan Kenma.
Tubuh Akaashi melemas, tangannya yang menenteng plastik berisi cola kehilangan tenaga, membuat benda itu jatuh berhamburan menimbulkan suara yang bersisik.
Sepasang mata kecoklatan lantas berbalik menatapnya. Orang itu—yang pasti adalah pria—melangkah mendekati Akaashi.
Ketakutan dalam diri Akaashi semakin dalam dan terasa nyata. Kakinya menjadi kaku seketika, membuatnya terjatuh di jalanan yang licin dan dingin, kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Suara-suara teriakan yang terpendam di dalamnya terhenti di tenggorokan.
Dalam jarak sedekat ini pun Akaashi tidak dapat mengenali wajahnya lantaran pencahayaan yang minim. Hanya kilatan mata kejam itu yang dapat ia tangkap.
Saat pria itu tinggal beberapa langkah di depannya, pria lainnya yang lebih pendek tiba-tiba muncul dan menahan pergelangan tangannya.
Apa sedari tadi ia berada di sana? Akaashi tak menyadarinya.
Yang baru saja datang menggeleng, seakan tak menyetujui tindakan temannya.
Merasakan adanya kesempatan untuk lari, Akaashi bangkit, meski kalinya terasa amat berat dan berniat menyeret langkahnya untuk lari dari sana.
Kenma ... tapi bagaimana dengan Kenma? Tubuh sahabatnya masih ada di sana. Ia ingin berbalik, tapi ia ingat dengan resikonya. Tak mungkin pria tadi terus melindunginya, 'kan?
Di samping itu, Akaashi terlalu takut. Ia tidak bisa memainkan peran pahlawan seperti di film-film. Ia tidak seberani itu.
'Maafkan aku, Kenma....'
«────── « ⋅ʚ♡ɞ⋅ » ──────»
Mata Akaashi terpaku pada nama yang terukir pada batu nisan itu. Kozume Kenma. Sosok yang selalu ada untuknya, sekarang hanya menjadi kenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Destiny : Love, Friendship and Obsession
ActionAkaashi terjebak dalam kegelapan setelah kehilangan teman sejatinya, Kenma. Setiap upaya untuk membantunya pulih dari trauma yang dialaminya telah gagal, hingga ia bertemu dengan Bokuto, seorang pria ceria dan optimis. Meskipun awalnya Akaashi sulit...