⇢³ ˗ˏˋ The Lonely King ࿐ྂ

61 7 0
                                    

"Akaashi?"

Akaashi terkejut, dari mana Bokuto bisa tau namanya? Terlebih, ekspresi tegang apa itu? Akaashi semakin tak mengerti saat Bokuto mengembalikan pisaunya secara perlahan, masih dengan senyum kaku di bibirnya.

"Apa yang terjadi padamu? Bukankah kau bilang ini pertama kali kita bertemu? Lalu kenapa kau bisa tau namaku?" tanya Akaashi, ia benar-benar curiga sekarang.

"H–hah?" Bokuto kembali dengan tampang polosnya diikuti dengan tawa ringan. Tangannya bahkan menepuk bahu Akaashi, walau langsung ditepis.

"Kau ini sebenarnya kenapa?!" Akaashi lelah juga dengan sikap Bokuto yang terus berubah. Kadang serius, kadang tegang, kadang bercanda.

"Ha? Oh tidak ...." Bokuto menjeda kalimatnya. "Kebetulan kau mirip dengan temanku yang namanya Akaashi juga."

Akaashi menggumam singkat sembari mengangguk kecil, sebenarnya ia tak begitu yakin. Akaashi mengayunkan pisau dengan memegang ujungnya, sehingga gagang yang terukir nama Kenma terlihat jelas.

"Lalu kenapa kau sangat terkejut dengan ini?"

Bokuto menjentikkan jarinya. "Ah, itu karena aku tertarik dengan ukirannya! Sangat indah, kau tau? Eh, siapa Kenma? Namamu? Atau kenalanmu?"

Akaashi memutar bola mata malas, mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ini. "Bukan urusanmu."

Bokuto tak bertanya lagi saat merasakan hawa tak mengenakkan muncul di sekitar Akaashi, mungkin lain kali.

Akaashi bangkit dari kasur dan berjalan ke jendela kamar yang masih terbuka dan kemudian menyibak tirainya. "Kenapa masih di sini?"

Bokuto memanyunkan bibirnya. Apa yang dikatakan Akaashi ada benarnya juga. "Aku tak tau mau ke mana."

"Kembali ke bar dan dapatkan minumanmu di sana!" ujar Akaashi tajam, tapi Bokuto bahkan tak menganggapnya serius.

Mata pria itu melirik koper hitam yang ada di sudut kamar. "Mmm, apa kau datang dari kejauhan?"

"Yokohama."

"Aahh, tidak begitu jauh juga ternyata." Bokuto mengangguk pelan. "Eh, kau sudah dapat apartemen yang cocok?"

Akaashi menggeleng sebagai jawaban, dan itu membuat senyum Bokuto mengembang.

"Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku juga tinggal sendiri! Apartemenku sangat luas, tapi rasanya sepi jika—"

"Tidak, terima kasih tawarannya."

Bokuto merungut kesal. Mulutnya sesekali terdengar menggumamkan tentang betapa tertutupnya Akaashi.

Akaashi yang mendengarnya juga tak merespon apa pun. Rasanya hampir mustahil jika ia harus tinggal satu atap dengan orang lain, terlebih yang baru ia kenal.

Di samping itu, Akaashi juga belum terlalu yakin dengan pemuda ini.

"Kau tengah mencoba hidup mandiri atau lari dari rumah?"

Pertanyaan Bokuto lantas memancing atensi Akaashi. Matanya menatap tajam Bokuto yang masih tersenyum tipis. Ia penasaran, kenapa Bokuto seolah mengetahui semua tentang dirinya?

"Hehe, kau terlihat marah, itu artinya yang kedua, 'kan?" Bokuto bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Akaashi dengan langkah hati-hati.

Langkahnya lantas terhenti ketika Akaashi kembali menodongkan pisau. "Jangan mendekat lagi!"

Bokuto mengangkat kedua tangannya. "Oke, tapi setidaknya pikirkan tawaranku. Bukankah akan lebih hemat jika tinggal di apartemen yang sama dan membagi biaya sewanya?"

Akaashi menaikkan sebelah alisnya, kemudian meletakkan pisau di kusen jendela. Tangannya meraih dompet kulit di saku, dan mengeluarkan beberapa isinya.

Kartu kredit berwarna biru ada di genggaman Akaashi, membuat Bokuto langsung terdiam. Hal itu seakan memberitahu Bokuto jika Akaashi memiliki lebih banyak uang untuk hidup sendiri.

Tak sampai di sana, Akaashi menggeser telunjuk dan ibu jarinya, sehingga kartu kredit yang tadinya hanya satu, menjadi tiga.

Biru, merah, dan emas.

Bokuto hampir menganga sekarang. Bokuto mengusap tengkuknya, merasa sedikit malu karena meminta anak kaya raya seperti Akaashi untuk berbagi sewa kamar, seakan ia tak memiliki begitu banyak uang untuk hidup sendiri.

"Apaan...? Tuan muda rupanya...?" gumam Bokuto yang masih dapat didengar Akaashi.

Akaashi tersenyum tipis mendengarnya. Wajar saja jika ia memiliki sebanyak ini. Itu karena ayahnya sendiri berkerja sebagai direktur keuangan di perusahaan multinasional terkenal.

Meski begitu, Akaashi bukanlah seseorang yang boros. Jika tak begitu diperlukan, ia tak akan menggunakan uangnya.

Bokuto berdehem sejenak. "Aku tau kau punya banyak uang, tapi kapan lagi kau akan menemukan teman menyenangkan dan pengertian seperti diriku ini?" ujar Bokuto dengan percaya diri.

"Aku tak butuh itu," balas Akaashi sembari mengembalikan kartunya ke dompet.

Bokuto menampilkan ekspresi tidak setuju, kemudian menggeleng cepat. "Seseorang tidak dapat hidup sepenuhnya tanpa teman. Seperti halnya seorang raja tidak dapat menjadi raja tanpa adanya rakyat yang mendukungnya."

Akaashi terdiam sesaat. Tak menyangka jika Bokuto juga bisa bermain kata-kata seperti itu.

"Tapi aku adalah raja di duniaku sendiri. Aku tak membutuhkan rakyat untuk memilih mau pun mendukungku."

Bokuto ingin membantah, tapi ada benarnya juga. "Kau ini benar-benar raja yang kesepian, ya?"

Tak ingin mengalah, Bokuto kembali membalas, "Tapi kau sekarang berada di luar teritorialmu. Hidup di  kota asing yang bukan wilayahmu, apa kau bisa mengatasinya sepenuhnya? Seperti tadi contohnya."

"Aku hanya perlu beradaptasi, apa susahnya?"

Bokuto tersenyum kaku. Jika soal bermain kalimat seperti ini, sepertinya ia takkan menang dari Akaashi.

"Baiklah, bagaimana kalau kau ikut dan tinggal bersamaku dulu selama tiga bulan? Kita lihat, jika kau nyaman kau boleh tinggal, tapi jika tidak, kau boleh pergi. Bagaimana?"

Akaashi terdiam memikirkan tawaran itu. Sebenarnya ia juga agak penasaran dengan pria di depannya ini. Jadi mungkin tidak masalah selama jarak aman tetap ada.

"Tiga bulan terlalu banyak," ujar Akaashi tiba-tiba.

Bokuto tersenyum riang, kalimat itu bisa diartikan jika Akaashi telah setuju. Tapi di sisi lain dia juga ragu ketika Akaashi meminta pengurangan waktu.

"Oke, kalau begitu 2 bulan—"

"1 bulan!"

"Hah?!"

Bokuto benar-benar menganga sekarang. Ia ragu kepada dirinya sendiri, bagaimana ia meluluhkan hati batu Akaashi dalam waktu sesingkat itu?

"1 bulan atau tidak sama sekali?"

"Oke, deal!"

"Jangan asal setuju saja. Aku perlu memperingatkanmu lebih awal soal ini." Akaashi menunduk dalam, menggigit kecil bibir bawahnya.

Bokuto mengerjap beberapa kali. "Ada apa?"

"Jika bersamaku, mungkin kau bisa terluka, entah itu parah atau tidak. Bahkan kau bisa saja langsung mati. Karena aku—"

"Tidak masalah, kok!"

Akaashi lantas mengangkat pandangannya, melihat senyum lebar Bokuto. Tanpa sadar, ia juga ikut tersenyum.

"Kita lihat seberapa jauh kau bisa menahannya."

To Be Continued

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang