Setelah 30 menit duduk di kursi penumpang, Akaashi turun dari shinkansen yang membawanya ke ibu kota Jepang, Tokyo. Entah apa yang ia pikirkan sampai menyelinap keluar rumah tanpa memberitahu siapa pun.
Rumahnya yang sekarang, tak bisa lagi ia sebut rumah. Ia lelah dengan segala pengobatan tak berguna yang hanya akan membuatnya menjadi benar-benar gila.
Mengapa ia memilih Tokyo? Di samping karena daerahnya dekat, entah mengapa ada semacam perasaan yang menarik Akaashi untuk ke sana.
Tangannya menarik koper hitam yang berisi segala keperluannya nanti. Ia berencana mencari apartemen, tapi hari sudah gelap.
Mengandalkan maps pada ponselnya, Akaashi mencari hotel terdekat untuk ia sewa. Hotel itu berada tepat di pusat kota yang ramai.
Usai proses check in, Akaashi hanya memasukkan koper tanpa membongkarnya sama sekali, berhubung ini hanya satu malam jadi ia rasa tak perlu bongkar barang. Nantilah saat di apartemen baru.
Daripada diam di kamar, Akaashi lebih memilih turun ke bawah, mengunjungi bar hotel yang ada di lantai bawah.
Akaashi menatap kosong seluruh orang yang berlalu-lalang. Ia memfokuskan perhatiannya pada dua pria yang saling merangkul dan bersulang, tawa mereka begitu lepas, membuat Akaashi merasa sedikit iri.
Kapan terakhir kali ia tertawa lepas seperti itu?
Akaashi duduk di salah satu kursi di dekat bartender, lantas memesan whiskey. Ini adalah yang pertama kalinya bagi Akaashi meminum minuman itu.
Akaashi sering mendengar dari teman-teman di universitas-nya, jika minuman semacam whiskey dapat menghilangkan stres untuk sesaat.
Akaashi menatap gelas yang berisi cairan emas kecoklatan itu kemudian mendekatkan gelas itu ke hidungnya.
Aroma alkohol yang tajam menusuk penciuman Akaashi, dengan ragu ia mulai meneguknya.
Ketika dia meneguknya, sensasi panas perlahan menyebar ke tenggorokannya, membuat Akaashi mengerutkan kening.
Ia merasa tenggorokannya terbakar, diikuti detak jantung yang semakin cepat. Akaashi merasa kepalanya menjadi ringan dan pusing di saat yang bersamaan, pandangannya pun langsung mengabur.
Akaashi meletakkan gelasnya dengan kasar di meja sebagai bentuk ekspresi apa yang ia rasakan sekarang.
Ia segera merogoh beberapa lembar uang kemudian meletakkannya di dekat gelas. Akaashi ingin segera kembali ke kamarnya dan tidur.
Akaashi berjalan sempoyongan, pandangannya mulai berputar-putar. Tujuannya saat ini adalah pintu keluar, tapi ia sendiri pun tak tau persis ke mana kakinya melangkah.
Brukk!
Akaashi sebenarnya ingin sekali keluar dari sini tanpa hambatan, tapi sialnya, ia malah menabrak pria bertubuh tinggi dengan wajah sangar.
Pria itu lantas memelototi Akaashi. "Hei ... guna mata di wajahmu itu apa, hah?!" bentak pria itu kasar. Tangannya menggenggam bahu Akaashi kuat, hingga membuat Akaashi meringis.
"Maaf...." Hanya kata itu yang bisa Akaashi ucapkan, dan ia tau jika ini tidak akan selesai dengan cepat.
Pria besar itu menggeram, wajahnya ia dekatkan ke Akaashi. "Kau pikir maafmu bisa menyelesaikan masalah kita?"
Aroma alkohol bercampur bau asap rokok menyapa penciuman Akaashi. Apa-apaan? Padahal hanya tertabrak sedikit. Begitulah pemikiran Akaashi.
"Lalu apa?" Kepalanya benar-benar terasa berat saat ini, ia segera ingin menyelesaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Destiny : Love, Friendship and Obsession
ActionAkaashi terjebak dalam kegelapan setelah kehilangan teman sejatinya, Kenma. Setiap upaya untuk membantunya pulih dari trauma yang dialaminya telah gagal, hingga ia bertemu dengan Bokuto, seorang pria ceria dan optimis. Meskipun awalnya Akaashi sulit...