⇢¹³ ˗ˏˋ Rest Area ࿐ྂ

48 6 4
                                    

Bokuto menggerakkan ponselnya di udara dengan harapan akan mendapat sinyal walau hanya satu bar. Ia terus mondar-mandir dari satu sisi jalan ke sisi lain. Sesekali meninggikan tubuh dengan berjinjit.

Entah sudah berapa lama ia seperti itu, yang jelas tubuhnya sudah sangat pegal, seakan semua ototnya berteriak untuk diistirahatkan, tak lupa dengan perut yang juga minta diisi.

Sementara di trotoar, Akaashi duduk bersandar di pohon beringin sembari memeluk lutut, berusaha menghangatkan tubuh dari udara malam yang menggigit.

"Kau mau begitu sampai kapan?" tanya Akaashi, ia merasa lelah sendiri melihat tingkah Bokuto yang sama sekali tak membuahkan hasil dari tadi.

"Sampai aku dapat menghubungi seseorang?" jawab Bokuto yang masih enggan mengalihkan pandangan dari layar.

"Di saat seperti ini siapa yang akan kau hubungi?"

Bokuto menggumam panjang. "Mungkin pemilik motor itu."

"Kenapa malah hubungi Oikawa-san?" Akaashi semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Bokuto. Ia baru saja membuat motor Ducati Oikawa kehabisan bensin, bagian belakang kendaraan itu juga sedikit lecet, lantaran keserempet truk tadi.

"Yahh, kupikir aku akan meminta sedikit bantuan darinya, sekalian balikin motornya, 'kan? Eh, bisa berikan kartu namanya?"

Akaashi dengan malas mengeluarkan sekeping kartu dari saku jaket putihnya yang sudah tampak lusuh dan memberikannya pada Bokuto yang mengambil langkah mendekat ke arahnya. "Kuharap kau tidak begitu menjatuhkan harga diri kita."

Senyum Bokuto yang awalnya mulai merekah lantaran mendapat sinyal, seketika luntur kembali saat mendengar perkataan Akaashi. Tubuhnya sama sekali tak bergerak se-inchi pun dari posisi awal, takut sinyal yang ia dapatkan susah payah hilang lagi.

"Saat ini pun kau masih memikirkan harga diri? Jika menuruti gengsi saat ini, kau bisa saja mati," ujar Bokuto sedikit nyelekit. Jemarinya mulai menekan beberapa angka di menu panggilan.

Akaashi tak membantah, apa yang dikatakan Bokuto ada benarnya. Saat ini keduanya harus menerima semua bantuan selagi ada.

"Ah? Oikawa?" Bokuto memanggil nama itu dengan semangat ketika panggilan berhasil terhubung.

"Hmm? Ya, halo? Ini siapa yah?" sahut suara itu ringan. Bokuto dapat mendengar suara dentuman musik, jadi kemungkinan besar pria ini sekarang berada di bar, diskotik, atau semacamnya.

"Aku salah satu pria yang meminjam motormu tadi."

"Ah, iya, iya! Bagaimana? Apa urusan kalian sudah selesai? Aku perlu mengambil Iwa-chan milikku." Suara Oikawa terdengar sedikit lebih manja. Terlebih saat mengucapkan Iwa-chan yang membuat Bokuto heran sekaligus bingung.

Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari jika itu pasti adalah sebutan untuk motor Ducati besar itu. "Semua aman, hanya saja motormu butuh sedikit perawatan, pengisian bensin misalnya? Mungkin juga sedikit semiran untuk menghilangkan bekas goresannya? Heheh..."

"Temui aku saja di belakang bar HQ," ujar pria berambut coklat yang baru saja menyelesaikan minumannya dalam satu tegukan besar. "Kalian tau, 'kan?"

"Oke, tapi kami butuh waktu untuk sampai, kau bersedia menunggu, 'kan?" tanya Bokuto di seberang sana.

"Mn, sampai ketemu." Panggilan dimatikan. Oikawa meletakkan beberapa lembar uang di meja lalu beranjak pergi dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku.

Ia menghabiskan waktu hampir 30 menit hanya untuk menunggu motor kesayangan beserta orang yang telah meminjamnya. Mata Oikawa menyipit ketika melihat siluet dua orang beserta motor model Ducati dengan pria yang lebih tinggi mendorong motor itu.

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang