"Akaashi, aku pulang—Huwaa!" Tubuh Bokuto membuat gerakan refleks ke samping saat tiba-tiba vas bunga berbahan melamin melayang ke arahnya.
Benda itu menubruk dinding dan hancur berkeping-keping ke lantai, tanah dari vas itu ikut berserakan mengotori lantai dengan bunga mawar putih yang hampir tak berbentuk lagi.
Bokuto butuh beberapa saat untuk memproses segalanya. Tubuhnya masih dalam posisi awal, tak bergerak saking terkejutnya.
Matanya menatap ke arah di mana vas tadi terlempar, dan nampaklah Akaashi yang tengah bersandar di meja tempat diletakkannya TV. Nafas pria itu terlihat memburu serta air mata yang mengairi pelupuk mata.
"Apa yang...." Kalimat Bokuto terjeda saat melihat pintu yang sedikit terbuka. Dengan itu ia sudah bisa menebak apa yang sudah terjadi. "Aaahh, Kuroo, 'kah?"
"Katakan yang sebenarnya padaku! Pria itu mengatakan jika kau ada hubungannya dengan kematian Kenma! Padahal sebelumnya kau mengatakan jika tak memiliki hubungan apa-apa! Berhenti berbohong dan jelaskan semuanya padaku!" teriak Akaashi dengan suara serak. Tangannya menyeka air matanya dengan kasar.
Bokuto mengubah ekspresinya menjadi lebih serius. "Aku memang memiliki hubungan dengan kematian Kenma. Tapi yang menjadi puncak dari semua ini adalah Kuroo! Bukan aku!"
"Puncak? Apa di sini kau mencoba mengatakan jika yang membunuh Kenma adalah Kuroo?" tanya Akaashi dengan nada sarkas. Tak ada kepercayaan sama sekali di nada suaranya.
"Aku akan menceritakan kejadian sebenarnya, jika kau ingin mendengarkan."
Suara gemeretak gigi terdengar, Akaashi sebisa mungkin menahan agar tidak menyerang Bokuto lebih banyak.
"Tidak butuh!"
Akaashi mengambil langkah cepat menuju kamarnya. Suara bantingan pintu terdengar menggema di telinga Bokuto yang hanya bisa terdiam.
Ia menghela nafas, tangannya menyisir rambutnya ke belakang. Kemarin ia sempat berpikir untuk pindah kamar, atau kalau perlu pindah apartemen sekalian saat mengetahui jika Kuroo ada di kamar sebelah.
Seharusnya ia melakukannya lebih awal jika tak ingin ini terjadi.
Sementara di dalam, Akaashi duduk bersandar di pintu. Tangannya memijat pelipis, merasa sedikit pening dengan semua yang terjadi.
Ia menatap sobekan kertas yang sedari tadi sudah ia remas hingga kusut. Di sana tertera sederet angka dengan nama 'Kuroo' di bawahnya.
Sebelum pergi, pria itu sempat memberikannya pada Akaashi. Ia mengatakan jika Akaashi bisa menghubunginya kapan pun saat perlu.
Akaashi percaya, sangat percaya dengan apa yang dikatakan Bokuto tentang Kuroo lah pelaku sebenarnya. Karena ciri yang ia dapatkan, ada pada Kuroo.
Ia ingat tatapan tajam itu.
Tapi yang membuatnya bingung di sini adalah mengapa? Apa alasannya ia membunuh Kenma? Dan apa lagi hubungannya dengan Bokuto?
Akaashi merasa ia terus dipermainkan takdir. Hal itu seakan terus membuatnya berputar-putar dalam hal ini.
Dengan langkah gontai, ia berjalan ke kasur dan melompat ke sana, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.
Hari masih pagi, tapi Akaashi merasa seolah tenaganya telah habis terkuras. Di bawah selimut itu, ia memainkan ponselnya, memasukkan nomor yang baru ia dapatkan ke daftar kontak baru dan memandanginya untuk beberapa saat.
Akaashi masih bimbang, meski ia terus mengetikkan beberapa kata yang mungkin akan mengubah jalan hidupnya. Jemarinya terhenti ketika akan menekan tombol pada layar dengan tanda pesawat putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Destiny : Love, Friendship and Obsession
ActionAkaashi terjebak dalam kegelapan setelah kehilangan teman sejatinya, Kenma. Setiap upaya untuk membantunya pulih dari trauma yang dialaminya telah gagal, hingga ia bertemu dengan Bokuto, seorang pria ceria dan optimis. Meskipun awalnya Akaashi sulit...