⇢⁴ ˗ˏˋ New Place ࿐ྂ

55 7 0
                                    

"Welcome to my apartement!"

Bokuto merentangkan kedua tangannya, membuat gerakan menyambut untuk Akaashi yang masih terdiam di depan pintu sembari menggenggam pegangan koper.

"Apa yang kau tunggu? Ayo masuk, biar kutunjukkan kamarmu." Bokuto langsung berjalan masuk lebih dalam.

Akaashi melangkahkan kakinya dengan ragu, mengikuti langkah cepat Bokuto yang seakan menjauh darinya.

Ia pikir Bokuto akan menariknya tadi. Itu artinya Bokuto benar-benar mematuhi peraturan yang Akaashi berikan.

Yaitu menjaga jarak aman, tidak boleh lebih dekat dari setengah meter.

"Ini kamarmu." Bokuto bersandar pada kusen pintu, jarinya menunjuk ke dalam kamar bernuansa gunmetal blue and white.

" Bokuto bersandar pada kusen pintu, jarinya menunjuk ke dalam kamar bernuansa gunmetal blue and white

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akaashi ikut mengintip ke dalam kamar, batinnya memuji suasana segar kamar itu. Berbeda jauh dengan kamar suramnya dulu.

"Ah, kamarku ada tepat di sebelah. Jadi kalau ada sesuatu kau bisa langsung mencariku," ujar Bokuto yang hanya dibalas gumaman singkat dari Akaashi.

"Aku akan siapkan makan siang, rapikanlah barang-barangmu sembari menunggu." Bokuto melangkah di samping Akaashi, tangannya mengacak pelan rambut Akaashi secara tak sadar.

Benar-benar tak sadar.

Hanya Akaashi yang kaget sendiri, matanya menatap Bokuto yang hanya berjalan santai menuju dapur. Akaashi tau cara membedakan hal yang disengaja atau tidak, dan yang barusan memang bukan kesengajaan.

Ia tidak ingat kapan disentuh dengan lembut seperti itu. Belakangan ini ia hanya menerima tarikan atau dorongan kasar dari orang tua dan para psikolognya.

Hal itulah yang membuat Akaashi makin benci disentuh.

Dengan Kenma? Untuk perihal kontak fisik, yang paling jauh itu hanya saling merangkul.

Sementara yang dimaksud Akaashi di sini adalah perlakuan fisik seperti mengelus dan semacamnya.

Akaashi melangkah ke dalam kamar sembari membongkar kopernya, memasukkan satu-persatu isinya ke dalam lemari.

Semenjak kejadian malam itu, Akaashi menjadi super hati-hati pada setiap orang. Ia tak akan membiarkan orang asing menyentuhnya semudah itu, dan sebagai tindak waspada, Akaashi selalu membawa pisau Kenma bersamanya.

Menggunakan benda itu ketika ia mulai merasa terancam.

Ini membuatnya sulit bersosialisasi, ia hampir tak bisa membedakan mana orang yang patut dipercaya dan mana yang tidak, dan pada akhirnya Akaashi memilih untuk menutup diri dari pergaulan.

"Akaashi~"

Suara itu mengejutkan Akaashi yang hampir selesai dengan barang-barangnya. Ia berbalik cepat dan mendapati Bokuto telah berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kusen.

"Eh, namamu benar Akaashi, 'kan? Kenapa kaget? Apa aku mengejutkanmu?"

Akaashi mengangguk lalu menggeleng kemudian. Membuat tawa ringan keluar dari bibir Bokuto.

"Apa kau sudah selesai dengan barangmu? Aku memanggilmu untuk makan," ujar Bokuto dengan senyum ramahnya.

Akaashi mengangguk kaku. "M–mn, hampir selesai."

Bokuto melangkah masuk ke kamar. "Mmm, apa ada yang bisa kubantu? Takutnya nanti kau kena penyakit lambung jika telat makan. Aku tebak pasti sebelum-sebelumnya juga makanmu tidak teratur, 'kan?"

Akaashi hanya diam, satu lagi hal yang Bokuto berhasil tebak dari dirinya. Ia dengan cepat mendorong semua beberapa lembar pakaian terakhir ke dalam lemari kemudian menutupnya.

"Sudah selesai," ujar Akaashi yang kemudian langsung berdiri.

"Yosh, kalau begitu ayo makan!" Bokuto menarik pergelangan tangan Akaashi tanpa sadar, sementara Akaashi hanya mengikut tanpa berniat melepaskan tangannya sama sekali.

Tubuhnya sedikit menegang saat merasakan permukaan telapak tangan Bokuto hingga di kulitnya.

"Eh?"

Barulah saat tinggal beberapa langkah dari ruang makan, Bokuto menyadari apa yang telah ia lakukan.

Kepalanya menoleh secara kaku, menatap Akaashi di belakangnya. Senyum kikuk terbentuk di bibir pria itu seraya melepas tangannya dari pergelangan Akaashi.

"Ehehehe, sorry weh, gak sadar aku. Tadi juga aku megang kepalamu, 'kan? Maafin aku, ya?" Bokuto menatap Akaashi dengan tatapan memelas.

Akaashi mengernyitkan dahi saat Bokuto tiba-tiba menyodorkan salah satu lengannya ke arahnya. "Apa?"

"Kau boleh melakukan apa pun sebagai hukumannya."

Akaashi terdiam lagi. Apa sebegitu pentingnya kenyamanannya bagi Bokuto?

Biasanya jika seseorang melanggar peraturan, mereka hanya minta maaf lalu melupakannya. Tapi tidak untuk Bokuto, ia bahkan bersedia menerima hukumannya.

"Tidak perlu," ucap Akaashi membuat Bokuto bengong beberapa detik. Bukankah Akaashi adalah orang yang sangat ketat dalam hal ini?

"Kalau begitu ingatkan aku jika lain kali aku melakukannya lagi, oke?"

Tak ingin waktu terbuang lebih banyak, Bokuto lantas berjalan lebih dulu ke meja makan, disusul Akaashi.

Di sana sudah siap dua mangkuk katsudon lengkap dengan sup miso. Aroma menggugah selera masuk ke indra penciuman Akaashi.

"Katsudon spesial ala Bokuto Kotaro! Nah Ō-sama, silahkan duduk dan makan." Bokuto lantas membuat gerakan seolah dirinya adalah sang pelayan. Saat Akaashi duduk, baru ia ikut duduk.

Akaashi menikmati makanannya dengan tenang. Senyum terukir di bibir tipisnya saat rasa daging meleleh di mulutnya.

 Senyum terukir di bibir tipisnya saat rasa daging meleleh di mulutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana? Enak?" tanya Bokuto antusias.

Akaashi berdehem kecil sebelum menjawab, "Tidak buruk." Alih-alih mengatakan 'enak', Akaashi lebih memilih pengunaan kata yang secara tidak langsung menjurus ke sana.

"Mmm~, aku tau itu! Kau pasti menyukainya!"

Mengajaknya berbicara santai, memperlakukannya dengan lembut, serta membuatkannya makan siang, sudah lama Akaashi merindukan perasaan ini. Perasaan ketika seseorang benar-benar peduli padanya.

Inilah yang ia butuhkan. Akaashi sama sekali tak membutuhkan pengobatan yang sama sekali tak berguna, ia hanya perlu perhatian yang akan membuatnya sembuh secara perlahan.

Dan pria yang baru saja ia ketahui sebagai Bokuto ini mungkin bisa melakukannya.

'Ahh, ini gawat. Kenma, bagaimana menurutmu? Apa dia adalah orang yang tepat?'

To Be Continued

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang