⇢¹⁰ ˗ˏˋ Race In Way ࿐ྂ

54 6 3
                                    

Satu-satunya keinginan Bokuto dan Akaashi saat ini adalah ingin memiliki sayap dan segera terbang dari sini. Dramatis memang, tapi itulah kalimat hiperbola yang tepat untuk menggambarkan perasaan mereka saat ini.

Tak peduli seberapa cepat mereka berlari, Yaku dengan motor besarnya selalu dapat menjaga jarak tangkap yang bagus untuk keduanya. Pria itu berniat memancing mereka ke tempat yang lebih sepi, baru kemudian melakukan penyergapan, tapi melakukannya sendiri memang sulit.

"Hei, kau yang di sana, berhenti!"

Bokuto dan Akaashi sebenarnya enggan menoleh, tetapi suara tegas itu memaksa mereka berbalik, saat itulah keduanya melihat polisi dengan atribut lengkap datang menghampiri.

Namun nyatanya, teguran tadi bukan untuk Bokuto dan Akaashi, melainkan untuk Yaku yang terpaksa menghentikan motornya. Matanya menatap tajam sang polisi dari balik kaca helm.

"Hei, Nak? Berapa usiamu? Apa kau sudah masuk usia legal untuk membawa kendaraan?" tanya polisi itu beruntun. Pada bagian nametag-nya tertulis Sawamura Daichi, petugas kepolisian dari Miyagi yang dipindahtugaskan ke Tokyo.

Siku-siku imajiner muncul di pelipis Yaku. Ia tidak menyangka akan terhambat karena postur tubuhnya yang kecil. Dengan kesal ia membuka helm, alisnya menekuk marah, tapi bibirnya menyunggingkan senyum manis. Ia berusaha menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh dengan polisi.

"Maaf, Pak, tapi tahun ini saya baru masuk universitas, lho."

"Eh?" Daichi berdehem sembari membenarkan letak topi kepolisiannya. "Kalau begitu bisa tunjukkan Resident Card milikmu."

Yaku memutar bola mata malas. Sepertinya ia harus meminta maaf pada Kuroo setelah ini, lantaran membiarkan Bokuto dan Akaashi lolos.

Sementara itu, Bokuto dan Akaashi sama sekali tak mengurangi kecepatan. Mereka lolos karena Yaku ditahan polisi lantaran tinggi badan, memang terdengar sedikit konyol, tapi hal itulah yang menyelamatkan keduanya.

Bokuto melirik Akaashi yang nampak tak lagi bisa mengatur nafas. Ia tau, sedari tadi pria itu pasti sudah sangat lelah lantaran terus berlari. "Akaashi, kau masih kuat?"

"Kuat atau tidak pun ... tidak ada pilihan selain berlari, 'kan?" ujar Akaashi terputus-putus.

Bokuto memperhatikan setiap kendaraan yang terparkir di sisi jalan, saat pada akhirnya perhatiannya jatuh pada motor besar bercat merah yang tampak tak bertuan. Bahkan kuncinya masih tergantung di sana. "Hey! Motor besar itu terlihat bagus!" Bokuto menarik tangan Akaashi menuju kendaraan itu.

"Tunggu! Kita akan mencuri?!" tanya Akaashi resah saat melihat Bokuto mulai menggerakkan standar penopang motor itu.

"Mau bagaimana lagi? Kau ingin kita berlari terus?"

"Ya, tapi kan kau tidak—"

Perkataan Akaashi terputus saat tiba-tiba pria dengan rambut coklat menyerobot masuk di antara mereka. Ia tidak memiliki niat menyerang, yang dilakukannya adalah mendorong Bokuto menjauh dari motor yang sepertinya adalah miliknya.

"Apa yang kalian lakukan?! Kalian pencuri, ya?!" tanya pria itu sembari berteriak, hingga mengundang tatapan penasaran dari pejalan kaki yang ada.

Bokuto mengacak rambutnya hingga berantakan dengan frustasi. Mengapa di saat genting seperti ini selalu saja ada penghambat?

"Tidak bukan begitu." Akaashi menggeleng. "Dengar, saat ini kami berada dalam situasi hidup-mati. Kami harus segera pergi, jika tidak sesuatu yang buruk akan terjadi."

Pria brunette itu menaikkan sebelah alis. "Hm? Hidup-mati? Apa kalian terlibat pekerjaan yang mencurigakan? Seperti buronan misalnya."

Akaashi menarik nafas berat. "Aku berani bersumpah, ini tidak ada kaitannya dengan polisi. Maka dari itu, tolong pinjamkanlah motormu pada kami. Aku janji akan mengembalikannya dalam keadaan utuh tanpa lecet!"

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang