⇢ʙᴏɴᴜs ᴄʜᴀᴘᴛᴇʀ ˗ˏˋ Today is Today ׂׂૢ ་༘࿐

79 8 14
                                    

Tiiitt ... Tiiiitt ... Tiiitt ....

Suara alarm digital itu menyentakkan Akaashi dari tidurnya. Sesaat ia membuka lebar mata, kemudian menyipitkannya lagi untuk menyesuaikan cahaya yang masuk melalui tirai jendela yang selalu ia biarkan terbuka.

Sembari mengumpulkan kesadaran yang tersisa, tangannya menggosok matanya yang terasa sedikit basah. Karena itu, ia lantas bangkit dari posisi tidurnya dan memastikan cairan apa sebenarnya itu.

Apakah ia baru saja menangis dalam tidurnya? Akaashi tak begitu ingat mimpinya semalam. Namun, itu terasa seperti mimpi yang amat panjang, dan juga ... tragis.

Bagaimanapun juga ia tak berniat memikirkannya lebih jauh. Tangannya meraih smartphone yang terletak di meja dekat kasur dan membuka lockscreen-nya.

Senin, 4 November 2030

Matanya membulat seketika saat mengingat agenda kegiatannya hari ini. Ia melempar selimut secara asal dan segera melakukan serangkaian kegiatan 'tuk segera melesat ke universitas.

***

Setibanya di halaman universitas, Akaashi berjalan santai sembari memperhatikan satu persatu semua orang yang ada di sana.

Yang paling menarik perhatiannya adalah dua pria dengan jaket merah yang tengah duduk di bangku taman, menikmati ice coffee mereka masing-masing. Keduanya terlihat amat dekat, tertawa bersama, dan entah mengapa, interaksi mereka terlihat sangat manis di mata Akaashi.

Sebelum ia sempat menoleh, tiba-tiba saja pandangannya tertutupi oleh tubuh seseorang. Dalam sekejap, tubuhnya bertabrakan dengan orang itu.

"Ouch!"

Tubuh orang itu terasa kokoh, seperti dinding yang tiba-tiba muncul di depannya. Akaashi merasakan sesuatu yang dingin dan basah menempel pada jas biru langitnya, aroma kopi pun dengan segera menyeruak di udara.

Refleks, Akaashi mundur beberapa langkah, mencoba menyeimbangkan dirinya agar tidak jatuh.

"Astaga! Maafkan aku!" seru orang yang menabraknya itu tampak panik. Dengan cepat, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan.

Tanpa menunggu persetujuan Akaashi, dia mulai mengelap pakaian Akaashi dengan sapu tangan itu, berusaha membersihkan noda kopi yang menempel dengan tergesa-gesa.

Nodanya memang tak bisa hilang sepenuhnya, tapi itu tak seterang tadi. Yah, Akaashi hanya perlu melepas jasnya dan semua masalah selesai.

Akaashi, yang sejauh ini hanya terdiam, akhirnya mengangkat pandangan. Dia menatap wajah pria itu. Saat mata mereka bertemu tatap, Akaashi merasa terkejut.

Pria itu memiliki rambut runcing putih abu-abu dengan garis-garis hitam; bagian-bagian tertentu seolah samar-samar menyerupai burung hantu bertanduk. Tapi bukan itu yang membuat Akaashi terkejut. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya merasa familiar, seolah-olah dia pernah melihatnya sebelumnya.

Namun, Akaashi tidak bisa mengingat di mana atau kapan dia pernah melihat pria itu. Ia merasa bingung, dan heran dengan reaksinya sendiri. Diliriknya kartu identitas yang tergantung di leher si pria.

Bokuto Kotaro

Bahkan namanya pun terdengar tak asing.

Pria bernama Bokuto itu mengibaskan tangannya yang menggenggam sapu tangan di depan wajah Akaashi. "Mm, halo?"

Akaashi terkejut, tersentak dari lamunannya. "H–hah?" ucapnya terbata. Matanya kemudian teralih ke tangan kiri Bokuto. Di sana, tergenggam erat sebuah gelas plastik dengan logo starbucks yang sudah penyok. Isinya, macchiato coffee, kini hanya tersisa setengah.

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang