"Akaashi, sebenarnya sudah lama sekali aku ingin mengatakan jika aku menyukaimu."
"Tingkahmu yang keren juga selalu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali padamu, Bokuto-san."
.
.
.
Bayangan situasi itu selalu berputar di haluan Bokuto pagi ini. Beberapa skenario yang tidak jauh berbeda juga terkadang muncul sebagai selingan. Matanya terus menatap Akaashi yang memakai kemeja putih kebesarannya. Pria itu tampak tak terganggu sama sekali dengan Bokuto yang terus memantaunya mengganti pakaian.
Bokuto menghela nafas. "Kaashi, salah tidak sih kalau aku mencintaimu?" Setelah membulatkan tekadnya Bokuto memutuskan untuk mengatakan perasaannya.
Akaashi yang mengaitkan kancing terakhirnya lantas terhenti. Lehernya menjadi kaku untuk membuat gerakan berbalik. Situasi ini sama sekali tak pernah terlintas sekalipun di fantasinya.
Akaashi berdehem pelan, mencoba cari jalan keluar dari situasi yang tiba-tiba terasa canggung ini. "T–tidak ada larangan bagimu untuk mencintaiku layaknya seperti saudara sendi—"
Kalimatnya terpotong ketika Bokuto dengan cepat membalikkan tubuhnya untuk saling berhadapan. "Aku tau kau mengerti maksudku." Bokuto menjeda ucapannya sejenak. "Jadi, tolong jangan menghindar," sambungnya lagi saat melihat Akaashi menghindari kontak mata dengannya.
"Lalu ... aku harus bagaimana?" Dalam batinnya, Akaashi melanjutkan, "Mencintaimu sama saja dengan menahanmu, meski perasaanmu juga sama."
Akaashi hanya ingin Bokuto bebas, mencari cinta sejati, menjalani kehidupan remaja pria normal pada umumnya, dan menemukan orang yang jauh lebih pantas dibanding dirinya.
Tak peduli perasaan Bokuto sama atau tidak.
Bokuto mematung sejenak, akhirnya ia menyadari jika menyatakan perasaan di saat-saat seperti ini bukanlah pilihan yang tepat. Caranya juga cukup blak-blakan. Hal ini jelas membuat Akaashi terkejut.
Ia menepuk kedua bahu pria itu pelan dan mengukir senyum. "Harus bagaimana? Kau tidak perlu melakukan apa-apa."
Akaashi perlahan mengangkat pandangannya. "Hah?"
Bokuto beralih merangkul pundak Akaashi. "Hehe, aku hanya ingin kau tau perasaanku, itu saja. Aku tidak pernah memintamu untuk menjawabnya, 'kan?"
Bokuto tertawa ketika melihat Akaashi yang hanya diam. Ia kemudian mengacak pelan rambut pria itu, kemudian bergerak mengatur sprei kasur.
"Ah, aku lupa bilang. Semalam Kuroo menghubungiku, jika apartemenku tidak ada yang jaga. Jadi kita bisa pulang hari ini."
"Untuk apa Kuroo memberitahu kita? Kau yakin itu bukan jebakan?" Akaashi mengerutkan kening, curiga.
Bokuto mengangguk pelan. "Aku cukup yakin, karena di samping itu kami berdua juga membuat kesepakatan." Ia kembali memutar tubuh menghadap Akaashi.
"Kesepakatan?"
"Mn, aku akan menemuinya malam nanti."
Akaashi mengangkat sebelah alis, meyakinkan dirinya jika barusan ia tak salah dengar. "Menemuinya? Kau gila?"
"Serahkan semuanya padaku, tugasmu saat ini adalah duduk diam dengan baik di rumah, oke?" Bokuto lagi-lagi menampilkan senyum cerahnya.
Senyuman itu mampu menenangkan Akaashi, tapi di sisi lain, ia juga kurang menyukainya, saat Bokuto bertingkah seakan ia bisa mengatasi semuanya sendiri. Padahal dari awal, ini adalah masalah Akaashi dan Kuroo.
Sisa waktu mereka habiskan dengan melakukan apa yang mereka inginkan. Saat malam tiba keduanya sampai di apartemen.
Bokuto merapatkan jaket hitamnya. "Dengarkan aku. Pokoknya jangan bukakan pintu untuk orang asing! Oke?"
Bokuto berlari di sepanjang trotoar, menuju tempat yang sebelumnya telah disepakati oleh Kuroo dan dirinya. Ia tidak tau akan seperti apa jadinya pertarungan ini, yang pasti itu akan menjadi final round-nya dengan Kuroo.
Bokuto tidak boleh membiarkannya lebih lama lagi. Dengan watak Kuroo, pria itu tak akan melepas seseorang yang diinginkannya dengan mudah.
Kurang beberapa kilo lagi dari lokasi yang ia tuju, dan selama itu, Bokuto terus sibuk dengan pemikirannya sendiri. Tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukannya saat berhadapan dengan monster itu nanti.
Ia sama sekali tak melihat mobil truk yang menunggu di sisi kanan jalan, jaraknya terpaut beberapa beberapa di meter di belakangnya. Si pengemudi yang menggenggam setir mengulas senyum licik sembari mulai memutar kunci mobil, menyalakan mesinnya dengan suara yang berusaha dibuat tak terlalu berisik.
Tepat saat Bokuto melangkahkan kaki ke jalanan beraspal, Kuroo, yang berada di balik kemudi, menancap gas. Deruman mesin yang tiba-tiba membuat Bokuto terkejut dan refleks menoleh. Namun, sorotan lampu truk yang tiba-tiba menyala seakan membutakannya, membuat gerakannya melambat.
Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap, Bokuto sudah berada di tengah jalan, dan truk itu sudah tepat di sisi kiri tubuhnya.
Moncong truk itu menghantam tubuh Bokuto dengan kekuatan yang mengerikan. Tubuhnya terpental ke udara, seolah bergerak dalam gerakan lambat. Rasa sakit yang tajam menyebar ke seluruh tubuh ketika ia jatuh tersungkur ke aspal sebelum berakhir dengan kepala yang menubruk trotoar dengan keras hingga menciptakan suara tengkorak yang retak. Darah mengalir dari pelipis dan mulutnya, membentuk genangan kecil.
Kuroo meminggirkan truknya, kemudian melompat turun dari mobil, berniat memastikan kondisi Bokuto. Seringai kejam tersungging di bibirnya saat melihat pria itu terkapar di pinggir jalan.
Dia berhenti tepat di samping tubuh Bokuto, yang saat ini entah sadar atau tidak. Dimasukkannya tangan ke saku. Ujung sepatunya dengan agak kasar menggerakkan kepala Bokuto, yang kini tertutup darah.
"Oi, oi, apakah kau mati? Bayangkan saja betapa hancurnya Akaashi jika mengetahui kau mati karena aku." Kuroo terus berbicara meski ia tau jika Bokuto takkan bisa membalasnya.
"Sejak awal aku tidak berniat untuk berduel denganmu. Terserah orang mau mengganggapku apa lantaran melakukan ini. Mau itu pengecut, pecundang, aku tidak peduli." Kuroo membalikkan badan, perlahan melangkah pergi, meninggalkan truk yang bahan bakarnya tersisa sedikit. "Yang pasti aku menang saat ini."
Dengan secuil kesadaran dan tenaga yang tersisa, Bokuto berusaha membuka mata. Apa pun yang ia lihat, semuanya berputar. Bahkan untuk bernafas saat ini terasa amat sulit.
Bokuto yakin 95%, jika saat ini Kuroo akan langsung mendatangi Akaashi ke apartemen. Namun, dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukannya? Ia merasa masih bisa bangkit, hanya saja perlu waktu lebih lama.
Samar-samar terdengar suara derap langkah seseorang mendekat. Dari suaranya, langkah orang itu terdengar ragu. Hening sesaat, sebelum Bokuto mendengar langkah perlahan tadi berubah menjadi sebuah larian yang terburu-buru.
Bokuto sama sekali tak punya tenaga hanya untuk sekedar mengangkat pandangan dan melihat wajah orang itu. Yang bisa ia lihat dari posisi terkapar ini hanyalah sepatu atletik abu-abu dengan detail biru milik pria itu.
"Aahh! Kau! Si kepala burung hantu!"
***
Judul chapter-nya A Short Kiss, Bokuto-nya juga dikiss beneran, 'kan?
Sayangnya, bukan sama Akaashi, tapi sama truk-kun. (ノ`Д´)ノ彡┻━┻
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Destiny : Love, Friendship and Obsession
ActionAkaashi terjebak dalam kegelapan setelah kehilangan teman sejatinya, Kenma. Setiap upaya untuk membantunya pulih dari trauma yang dialaminya telah gagal, hingga ia bertemu dengan Bokuto, seorang pria ceria dan optimis. Meskipun awalnya Akaashi sulit...