⇢⁶ ˗ˏˋ Neighbor ࿐ྂ

62 5 9
                                    

Jikalau memungkinkan, Bokuto ingin segera menutup rapat pintu dan membawa Akaashi ke kamarnya, mengunci pria itu rapat-rapat agar tak dapat disentuh oleh siapa pun.

Tapi saat ia baru saja akan menutup pintu, tangan pria bernama Kuroo sudah menahan pintu terlebih dulu dengan seringaian paling menyebalkan menurut Bokuto.

"Astaga, beginikah caramu menyambut tamu? Hah? Bokuto Kotaro."

Bokuto mendecak kesal mendengar nada Kuroo yang cukup menganggu. "Lama tidak berjumpa, ya, Kuroo. Bisa aku tau? Di antara jutaan apartemen yang ada di Tokyo, kenapa kau memilih tempat yang sama denganku? Sudah itu, sebelahan pula. Aku tidak ingat jika sebelumya kau adalah penghuni kamar sebelah," ujar Bokuto dengan nada sinis.

Ia ingat betul, kemarin sebelum ia membawa Akaashi, orang di kamar sebelah kanan bukanlah Kuroo. Begitu pun untuk kamar yang lainnya. Bokuto hampir mengenal semua yang tinggal di apartemen ini, tapi selama setahun tak pernah ia mendengar ada yang namanya Kuroo Tetsurou yang tinggal di sini.

"Hahaha, ayolah, bukankah ini sebuah kebetulan yang mengejutkan? Aku menyukai pemandangan kota dari ketinggian ini, dan aku bahkan tidak tau jika kau tinggal tepat di sebelahku juga," ujar Kuroo mencoba menyangkal kecurigaan Bokuto.

Bokuto memberi senyuman sinis. "Ha! Bukankah terlalu sempurna untuk menyebutnya sebagai kebetulan?"

"Kalau begitu sebut saja ini sebagai takdir." Kuroo menyeringai tipis. "Dua kenalan lama bertemu kembali—" Ucapan Kuroo terjeda ketika matanya kembali melirik ke dalam. "Ah, bukan dua, tapi tiga."

Pupil Bokuto mengecil, dengan sekuat tenaga ia mendorong dan membanting pintu, setelahnya ia dengan cepat mengunci pintu. Deru nafasnya terdengar berat, sembari bersandar pada pintu putih itu. Mata Bokuto menajam saat mendengar suara tertawa Kuroo yang perlahan menghilang.

"Apa yang terjadi?" Tubuh Akaashi menegang saat Bokuto yang tadinya masih bersandar di pintu, merangkak dengan cepat ke arahnya. Wajah pria itu terlihat sangat panik.

Setelah dirasanya jarak mereka cukup dekat, Bokuto menatap mata Akaashi dalam-dalam.

"Akaashi, apa kau sempat melihat wajah pria tadi?" tanya Bokuto serius.

Akaashi mengerjap pelan, kemudian mengangguk. "Hanya sekilas karena kau menghalangi. Tapi entah kenapa ... ia terlihat tidak asing."

Bokuto menggeleng kuat. "Wajahnya memang pasaran, tidak heran jika kau merasa pernah melihatnya."

"Hah?"

"Akaashi, dengar." Bokuto memperbaiki posisi duduknya. "Apa pun yang terjadi, jangan pernah berbicara terlebih berurusan dengannya," ujar Bokuto dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.

"Kenapa?" Akaashi masih belum mengerti.

"Eh? Kenapa?" Bokuto kembali ke ekspresi setelan pabriknya yang terlihat cerah. "Yaa, kau tau? Dia itu bukan tipe orang yang baik. Jadi aku sarankan untuk tidak berurusan dengannya," ujar Bokuto yang diiringi tawa di akhir kalimatnya.

Setelahnya Akaashi dibawa masuk ke kamarnya oleh Bokuto dengan alasan ia harus segera beristirahat setelah semua kekacauan ini.

Akaashi merasa ada yang aneh dengan sikap Bokuto, pria itu seakan menyembunyikan sesuatu. Dia bodoh dalam menyembunyikan ekspresi.

Di tengah malam yang sunyi, Akaashi hampir tak bisa tidur. Bukan karena tempat yang asing, tapi karena perkara Bokuto dan pria yang berada di depan pintu tadi.

Bicara soal sikap aneh, Akaashi merasa Kenma juga tidak jauh beda. Menurutnya pria berambut puding itu juga cukup aneh.

Dia sangat tertutup dan hampir tak menceritakan apa pun tentang dirinya, juga membatasi lingkup pertemanan Akaashi.

Game of Destiny : Love, Friendship and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang