Bagian 8 : Mimpi Buruk Kembali Hadir

2 3 0
                                    

Lyra merasa tubuhnya jatuh ke dalam jurang, kegelapan dibalik pintu itu seakan melahapnya. Di saat terjatuh, di saat itulah akhirnya dia terbangun, matanya melihat sosok seorang ibu yang selama ini dia cari-cari.

Salah satu tangan ibunya memegang kalung pemberian Orance dan perlahan memberikan kalung tersebut ke tangan Lyra.

"Kau kembali." Ucapnya, kemudian tersenyum penuh rasa haru.

Lyra tak tahu harus berkata apa, tapi dia ikut tersenyum alih-alih merasa bahagia dengan apa yang terjadi.

"Kau harus istirahat, Lyra, kau sudah terlalu lama pergi. Kalau kau lapar, panggil saja ibu, ya." Kemudian mengecup dahi Lyra yang masih dingin seperti salju.

Lyra hanya mengangguk dan melihat punggung ibunya semakin menjauh.

Wanita itu, katanya membatin. Aku tidak pernah percaya bahwa dia adalah ibuku.

Mulai dari cara dia menatap Lyra sampai caranya bersikap lembut, Lyra hampir mengira semuanya hanyalah mimpi. Dia masih sulit percaya dengan yang sudah terjadi seharian itu dan entah berapa lama waktu yang dia habiskan di alam perjalanan jiwa kembar. Mengingat itu, dia cukup yakin bahwa Larry sama kesepiannya dengannya. Namun, bagaimana Larry mengetahuinya secepat itu? Lyra sungguh tidak sabar untuk bertemu Larry dan bertanya padanya.

Malam itu Lyra hanya makan sup daging panas di kamarnya tanpa ikut makan bersama di meja makan, hal itu sangat disayangkan oleh ayahnya tapi dia bersyukur Lyra akhirnya kembali bersama mereka lagi. Di sisa malam itu, ayah dan ibunya menemaninya di kamar sementara Larry tidak kelihatan batang hidungnya.

"Jadi, kau sungguh tidak bisa mengendalikan sihir seperti Larry?" Ayahnya berbaring di sebelahnya, "kalau menurut Orance begitu, kurasa aku harus mulai melatihmu juga, nak." Sambungnya.

Apa yang dikatakan Josh adalah kebalikan dari apa yang dipikirkannya. Jelas sekali bahwa Josh tidak pernah lupa dengan perkataannya waktu itu, saat Lyra akan terlahir. Tak ada yang tahu kecuali Deanrys, dan nampaknya wanita itu sudah melupakan yang pernah Josh bicarakan padanya. Itu sebabnya Orance cukup kewalahan ketika tahu bahwa Lyra sangat sensitif terhadap aroma sihir.

"Tidak," ibunya protes. "Biarkan dia sembuh dulu, kita bahkan belum tahu apa yang salah dengan manipulasi itu."

"Ayah, ibu," suara Lyra sumbang dan kedua orang tuanya menyadari hal itu. Rasanya canggung tapi dia memang sudah seharusnya memanggil mereka seperti itu. "Aku memang belum ingin berlatih sihir dan belajar lebih banyak tentang sihir, aku hanya ingin kalian melaporkan kejadian gila di Portsmouth. Aku terus khawatir dengan Orance dan Peal." Akunya.

Ayahnya menoleh ke arah Lyra, sementara ibunya yang duduk di sisi ranjang menghela napas.

"Aku bukan tidak ingin membantu Orance dan Peal, tapi Tefra tidak akan-"

"Aku akan coba bicara padanya." Ayahnya memotong ucapan ibunya dengan cepat.

"Ayah, kau serius?" Lyra hampir tidak percaya, "kalau memang ayah mau bicara padanya, biarkan aku ikut denganmu. Karena aku akan menjelaskan bagaimana situasinya secara terperinci."

"Lyra.." ibunya mengelus tangannya lembut, "ibu senang kau begitu mengkhawatirkan keadaan mereka, tapi hal itu sulit untuk dilakukan."

"Dean," ayahnya lagi-lagi mencoba memotong ucapan ibunya, dia menggeleng dengan raut wajah yang agak sedih. "Aku bukan ingin menghakimi mu, tapi Orance dan.. Peal sudah membantu banyak. Tidakkah seharusnya kau yang lebih menginginkan kabar keduanya dari pada siapapun? Melihatmu sangat dekat dengannya dulu, rasanya dia benar-benar merelakan dirinya untuk hidup berada jauh dari kerabatnya yang lain." Ayahnya menghela napas juga, "mungkin besok atau lusa, aku akan mencoba bicara pada Tefra."

Another War : Silver FeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang