"Larry." Lyra kemudian berjalan menghampiri kembarannya.
"Ayo kembali." Tukas Larry agak terburu-buru, dia takut kehabisan waktu.
Lyra mengerutkan dahinya, "bagaimana bisa secepat ini kau menemukanku?"
"Aku tidak tahu lagi kau akan pergi kemana kalau bukan di sini, jadi satu-satunya pilihan adalah kemari." Jelasnya.
Dengan keadaan yang setengah memudar, Lyra masih tenang berada di sana. Tidak pernah panik sama sekali atau bahkan ketakutan kalau-kalau dia tidak bisa kembali seperti waktu itu, saat Nona Yue harus turun tangan untuk memanggilnya kembali.
"Hampir setiap kali aku pingsan karena aroma sihir, tempat ini mengurungku. Namun, berapa kali pun aku mencari jalan keluar, sepertinya tempat ini memang tidak memilikinya." Lyra mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Tempat kosong yang sepi meski ada beberapa orang yang juga sama bingungnya denganku."
Orang? Larry melihat kanan kirinya, dia bahkan sampai berputar badan untuk memastikan bahwa tidak satu inci pun dari tempat itu terlewatkan oleh jangkauan matanya. Namun, memang tidak ada siapapun di sana. Sejak awal, tempat itu hanya ada Lyra dan dirinya tanpa ada orang lain lagi.
"Tapi anehnya, ketika aku sengaja menghirup aromanya, aku berada di tempat dari mana sihir itu berasal. Sepertinya ini sebuah kecacatan dalam diriku." Kata Lyra, dia berjalan perlahan-lahan menjauh dari Larry.
Sayang sekali Larry tidak bisa menyentuhnya, tubuhnya dan tubuh Lyra seolah terbuat dari asap putih yang tidak mampu disapu oleh angin, sangat berbeda dari waktu itu. Penampakan mereka itu nyata, tapi entah kenapa tidak bisa saling bersentuhan, atau mungkin itulah sebabnya hal ini disebut perjalanan jiwa.
"Lebih baik kita kembali, kaki kita sudah menghilang." Tukas Larry buru-buru melihat kaki Lyra sudah tidak lagi kelihatan.
Lyra ikut menundukkan kepalanya untuk memastikan, lalu mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum. "Benar, kakiku sudah mati rasa."
"Ya, jadi ayo kita kembali, kita bicarakan dengan tenang di rumah." Ingin sekali Larry menarik tangan kakaknya agar ikut bersamanya, tapi lagi-lagi dia sadar kalau hal itu tidak bisa dilakukannya.
Saat berada dalam kondisi pingsan dan jiwanya berkeliaran di tempat perjalanan jiwa ini, Lyra seperti kehilangan akal sehatnya. Dia bicara banyak hal yang sebenarnya tidak pernah dia pikirkan, dan hal itulah yang membuatnya tidak bisa melihat pintu besar yang berada di belakang Larry, yang sudah terbuka dengan lebar.
"Ayo ikut denganku. Ayo kita pulang, kak."
Lyra ikut berjalan bersamanya, mengekor di belakangnya. Sesekali Larry harus melihat ke belakang untuk memastikan Lyra mengikutinya tanpa berbelok arah lagi.
Larry terbangun ketika penglihatan terakhirnya begitu gelap saat dia dan Lyra memasuki pintu tersebut. Tobias yang menyadari hal itu langsung bergegas ke rumah sebelah, mencoba melompati pagar. Namun, karena terlalu tergesa-gesa, alhasil salah satu kakinya tidak mendarat dengan tepat sehingga membuatnya terjungkal dengan wajah menghantam lantai kayu yang keras.
Larry yang mendengar hal itu berangkat sempoyongan karena energinya belum sepenuhnya kembali. Namun, dia memaksa bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari rumah. Sebelum Tobias bangkit dari jatuhnya, Larry sempat melihat laki-laki itu mengumpat karena kesal. Lalu berjalan dengan menyeret salah satu kakinya masuk ke dalam rumah untuk menemui Lyra.
Sean yang terlebih dulu dilihat Lyra saat perempuan itu terbangun, hanya melemparkan senyuman kecil. Cepat sekali suhu tubuhnya berubah, bahkan wajahnya mulai berwarna lagi.
"Hei, bagaimana perasaanmu? Ada sesuatu yang sakit?"
Ya, ada, kepalaku sakit sekali. Kepalaku benar-benar terbentur sangat keras. Tapi Lyra tidak memperdengarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another War : Silver Feather
FantasyBuku 2 [Hiatus] Disarankan untuk membaca Buku 1 terlebih dahulu. Di antara manusia serigala dan penyihir, akan selalu ada keberadaan vampir. Yang mana mereka lebih memilih tinggal di tengah-tengah Kota dan hidup berdampingan dengan manusia normal s...