Bagian 26 : Menuju Prasium, Lagi

3 0 0
                                    

"Di saat hari pemakamannya, Lyra seperti patung yang bernapas. Dia tidak bicara dan yang mengejutkan, dia tidak menangis sama sekali." Sean menjelaskan kepada Peal dan Rowan. "Kukira Lyra sudah menerima kepergiannya sampai tidak ada air mata yang tersisa untuk menangisi kekasihnya itu." Sean seakan ikut merasakan kepedihan yang diterima Lyra.

"Sepertinya dia memang menyembunyikan kesedihannya dari semua orang," sergah Rowan menebak. "Karena saat aku tidak sengaja melihatnya di beranda rumahnya beberapa hari lalu, wajahnya dipenuhi air mata." lanjutnya, kembali mengingat kejadian kala itu. Tatapan mata Lyra, kesedihan yang tertahan, Rowan mengerti arti air matanya yang terus mengalir itu.

Sekarang, Lyra menimbun diri di dalam mobil. Tidak ingin bertemu siapapun kecuali Sean, tapi Sean ragu untuk menemaninya karena takut kalau perasaannya akan kembali goyah. Rasanya sulit melihat Lyra tersiksa oleh rasa sedihnya tanpa melakukan apapun dan tanpa mengatakan apa-apa. Selama ini Sean berada di sisi Lyra pada awalnya memang menginginkan perempuan itu, tapi sepertinya Lyra juga terlihat tidak menginginkan persahabatan mereka hancur karena hal tersebut. Saat perempuan itu menemukan cinta pertamanya, Sean agak keberatan dan kecewa, tapi dia senang pada akhirnya Lyra punya pendamping yang akan bertaruh sepenuhnya untuknya. Rick, laki-laki itu lebih berani dan lebih bisa menciptakan rasa nyaman kepada Lyra ketimbang dirinya.

Peal menepuk pundak Sean, "kau yakin membiarkannya seperti itu terus?"

Sean melirik ke arah mobil yang diterangi cahaya bulan, kemudian melirik ke arah dua laki-laki yang tengah bersamanya itu bergantian.

Peal tersenyum, "aku percaya padamu, nak. Karena selama ini terbukti kalau kau memang seorang sahabat yang baik."

Sean menghela napas, dia merasa ragu tapi Peal berhasil meyakinkannya. "Baiklah, aku tidak akan membiarkannya."

Saat membuka pintu mobil perlahan-lahan agar tidak mengejutkan Lyra, Sean menemukan Lyra tengah duduk meringkuk sambil merangkul kedua kakinya. Wajahnya melihat ke arah yang berlawanan dan ketika menyadari pintu mobil terbuka, perempuan itu segera menoleh. Sean sudah menduga bahwa wajah Lyra pasti akan membengkak, oleh sebab itu Sean lebih dulu mencelupkan sehelai kain ke dalam air sungai yang dingin untuk mengatasi mata bengkak tersebut.

"Sean.." lirihnya.

Tanpa menunggu isyarat, Sean masuk ke dalam mobil dengan pintu yang dibiarkan terbuka agar angin segar masuk dengan bebasnya.

"Kompres matamu, kau kelihatan mengerikan." Sean menyodorkan kain dingin itu.

"Terima kasih, tapi aku butuh kau, bukan itu." akunya. "Jangan berpura-pura tidak tahu, aku hanya butuh ditemani saja."

Sesaat Lyra kembali teringat, kejadian itu pernah terjadi sebelumnya. Dia menangis tanpa ingin berhenti, kebingungan seorang diri dengan hal yang baru saja didengarnya. Hanya saja saat itu dia berada di bak mobil dengan Rick yang menemaninya hingga tertidur. Bahkan Rick membawanya ke dalam mobil dan menyelimutinya, dan mungkin saja laki-laki itu menjaganya hingga pagi menjelang.

Rindu itu tidak dapat dibendung, tapi apa boleh buat? Selain menangis hingga sesenggukan, Lyra tidak bisa melakukan apa-apa. Sekarang Lyra merasa tubuhnya benar-benar mulai melemah. Banyak beban baru menghinggapi bahunya yang entah kapan akan terlepas.

"Bagaimana kalau kau tidur saja? Aku bisa menjagamu, aku sudah mengisi tenaga." Sean mencoba menawarkan bantuan lainnya.

Lyra melirik Sean sekilas, tapi tatapannya lekat untuk sesaat. "Kau benar, aku akan mencoba tidur. Kau seolah-olah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi, apakah kau mulai mahir menggunakan sihir ramalan?"

"Wah! Nampaknya begitu." Sean terkekeh, lalu merebahkan kepala Lyra ke bahunya agar perempuan itu merasa nyaman. "Kalau kau risih, coba singkirkan saja aku, tapi aku akan memukulmu setelahnya karena bersikap kurang ajar."

Another War : Silver FeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang